Delapan Belas: Persimpangan Hati dan Tabbayun

2K 182 25
                                    


Reva, wanita paruh baya yang begitu menyayangi menantu shalihah-nya itu kini tengah duduk di ruang perawatan Patricia.

Seorang perempuan blasteran yang kini duduk di atas kursi roda yang menghadap ke jendela kaca lebar, menampakkan pemandangan khas perkotaan: gedung-gedung tinggi dan lalu lalang kendaraan yang terlihat kecil dari lantai tempatnya berada.

Ia tahu, bahwa wanita yang ia ketahui sebagai mama mertua sahabatnya itu tengah menatapnya intens dari sofa di belakangnya.

Rasa pilu itu seakan mengunci dirinya, mengurung hatinya. Tetapi, Patricia sadar, bahwa hal itu adalah hal yang harus ia terima ketika ia mengambil keputusan untuk berbagi. Membagikan kasih sayang suaminya … dengan wanita lain.

"Tante di sini bersama siapa?" tanya Patricia, mencoba mengalihkan otaknya dari rasa sakit yang ia ciptakan sendiri.
Maira sedang dirawat juga.

"Oh!" pekik Patricia sembari membalikkan badannya menghadap Reva. "Maira … sejak kapan?"

"Baru hari ini."

Patricia mengangguk-anggukkan kepala. Lalu ruangan bernuansa putih khas rumah sakit itu kembali hening. "Kamu sudah berapa lama di sini?" lanjut Reva memecah keheningan yang terasa mendebarkan.

Ia berucap lirih, "sejak sekitar dua minggu lalu, Tante."

"Dua minggu?" Patricia mengangguk.

"Bukankah …?" Reva menggantungkan kalimatnya. Ia takut, bahwa topik yang akan ia sampaikan justru makin menambah daftar luka dari perempuan berparas ayu di depannya itu. Sementara, Patricia tersenyum maklum.

"Satu hari setelah hari pernikahan suami saya, saya mulai dirawat intensif di sini."

Namun, Reva begitu kagum karena bertemu dengan perempuan bernama Patricia itu. Karena ia seperti melihat diri Maira yang begitu kuat menanggung lukanya dan tersenyum seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa. Ia melihat Patricia tersenyum, dengan mata yang berkaca. Hal itu yang tak dapat ditahan.

"Kenapa?"

"Sepertinya saya hanya kelelahan."

"Bukan itu. Tapi, kenapa kamu membiarkan Ibrahim menikah kembali? Dengan … Syifa."

Patricia terkekeh. Ia terlihat seperti seorang ibu yang bahagia melihat putrinya menikah dengan pria impian sang putri. Tetapi, bagaimanapun ia bukan seorang ibu dari Syifa maupun Ibrahim.

"Syifa gadis yang baik."

Jawaban itu cukup membuat Reva mengerti, jika sebenarnya, Patricia tidaklah berniat untuk membeberkan segala hal padanya. Ia mengerti jika topik itu akan terada menyakitkan untuk diperbincangkan oleh Patricia. Hanya saja, ia begitu penasaran mengapa seorang istri rela membiarkan suami menikah kembali. Tidak ada wanita yang benar-benar rela berbagi sepenuh hati.

Akhirnya, Reva memilih diam dan berusaha memutar otaknya untuk mencari topik pembicaraan lain. Tetapi, saat ia hendak memulai pembicaraan, pintu ruangan itu terbuka dan menampakkan seorang pria berwajah khas Arab. Reva yakin, pasti itu adalah Ibrahim, suami perempuan yang terlihat ringkih dan begitu pucat itu.

"Kalau begitu, saya kembali dulu."

"Baik, sampaikan salam saya untuk Maira, Tante. Saya akan menjenguknya nanti."
Reva tersenyum, "semoga lekas diberikan kesembuhan. Syafakillah."

Setelahnya, Reva segera beranjak dari ruangan itu setelah menatap Ibrahim sekilas dan langsung berjalan kembali. Ia kembali berpikir, apa yang dilakukan putranya saat ini hingga tidak menjenguk Maira.

"Ibrahim yang istrinya dua saja, mau merawat Pa—"

Kalimatnya terhenti. Ia membeku dan tercekat sendiri akan pemikiran yang begitu saja terlintas dalam otaknya. Lalu, kepalanya ia geleng-gelengkan demi mengusir pemikiran yang sangat tidak ia harapkan itu. Kemudian, ia meneruskan langkah untuk kembali ke ruangan menantu satu-satunya itu. Sembari bermunajat kepada Sang Ilahi, agar apa yang ada dalam pikirannya tidak pernah terjadi.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang