DALAM pantulan cermin, yang dipendari cahaya lampu. Seorang perempuan bersurai hitam yang tampak kusut dan digerai begitu saja, duduk di tepian ranjang dengan kaki yang tak sampai menapak ke lantai. Menatap lembut pada seseorang yang tengah berjongkok di depannya, menumpu lutut ke lantai dan membiarkan kedua kakinya berada di dalam baskom berisi air hangat. Kemudian membasuhnya perlahan.
Tiada satu pun dari keduanya yang bersuara, membiarkan keheningan membungkam dua bibirnya, mengizinkan derak air yang mengambil tempat untuk mengisi kekosongan. Setelah selesai membasuh dua kaki mungil perempuan bermata hazel itu, pria berkaos hitam itu mengangkat dua kaki istrinya. Membiarkan kaki-kaki mungil yang telah banyak menempuh langkah seorang diri itu untuk bertengger di atas pangkuannya, beralaskan handuk abu kecil.
"Biarkan aku membasuh kakimu setiap malam, biarkan aku memanjakan kamu setiap hari, biarkan aku menebus segala air matamu yang tak ternilai setiap waktu, dan biarkan aku melindungimu di masa ini, masa depan, dan masa-masa selanjutnya."
Perempuan itu masih diam, membiarkan ucapan yang ia yakini bahwa kalimat itu belumlah usai. Ia tak ingin menghentikan hal yang menyenangkan baginya. Terlebih kini, suasana hatinya seperti sebuah melodi dari instrumen penuh duka, tetapi setiap nadanya terdengar melompat-lompat penuh kegembiraan.
"Qhumaira Khairina, perempuan berpipi kemerahan penuh kebaikan. Istriku, perempuanku, penggembiraku, makmum dalam sholat-sholat malamku, rumahku."
Pipinya merona, persis seperti yang digambarkan pria itu dalam kalimatnya. Wajahnya memerah seperti seorang pucat yang mendapatkan kembali darahnya setelah kehilangan seluruh cairan dalam tubuh. Namun, ia lagi-lagi masih saja diam tak memberikan suara apa pun. Maira ingin menikmati setiap detik tersebut secara perlahan, menyimpan setiap detail bahkan hingga debu halus yang bertengger di ujung hidung suaminya sekali pun.
"Aku tahu, kamu pasti begitu marah dengan suamimu ini. Aku menerimanya. Segala amarah itu."
Netra keduanya saling bertumbuk, mencurahkan kerinduan yang dalam. Namun, begitu pula luka yang masih bersemayam turut mengintip dan membungkus setiap rindu itu. Hanya saja, ia tak akan melepaskan perempuan itu. Perempuan yang kini terdiam di hadapannya, tetapi perlahan kedua tangan mungil itu menangkup kedua pipinya. Kemudian mengecup keningnya yang membuatnya merasakan betapa dingin bibir itu.
"Jangan mengucap janji yang tidak bisa Abi penuhi."
Pria itu, Ali, yang juga melihat setiap luka yang telah ia berikan kepada istrinya. Ia sesali setiap serpihnya. Namun, ia juga tahu bahwa rasa sesalnya tak akan menjadi obat yang manjur untuk menutup tiap luka itu. Ia tahu dan mengerti, bahwa sekali saja ia melukai hati istrinya. Ia tak akan mampu menjadi obat atau bahkan pengganti untuk merasakan sakitnya. Meskipun, istrinya mampu menjadi segala obat duka lara.
Mengapa ia tidak bisa?
"Karena istrimu mampu mengorbankan seluruh hidupnya untuk berbakti kepadamu, satu-satunya orang yang ia gantungkan hidupnya.
Lalu, apa susahnya untuk menjadi pelipur laramu?"
Ali menelan ludahnya dan memejamkan mata. Ia mengingat kajian yang telah ia dengar sebelum ia pergi ke Malang, tak ada satu kata pun yang ia lupakan dalam kajian itu. Karena pada saat ia menerimanya, hati beku itu telah siap menampung segala hal yang membuat pria metropolitan paham bahwa ia sudah sangat bersalah.
"Kenapa ia tetap diam? Dia ingin memberikan segala hal untukmu!
Tapi tidak dengan lukanya.
Dia ingin melakukan wasiat Rasulullah di mana andaikata diperbolehkan beliau meminta seseorang bersujud, beliau akan meminta istri untuk bersujud kepada suaminya."
![](https://img.wattpad.com/cover/139884456-288-k571875.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
EspiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...