Lima: Berbagi Duka

3.6K 261 5
                                    


Mereka memutuskan berbagi cinta. Dan mungkin ... terluka bersama.
—————


"Ini … Shifa, kan? Shifa teman kamu yang dilamar Rio dua hari lalu, kan?”

Maira mengangguk pelan. Ragu. Terdiam. Ia juga tak mengerti apa yang harus ia katakan. Semua perbendaharaan katanya dalam otak hilang begitu saja. Blas, tanpa sisa.

Kenapa harus dengan suami Patricia? Kenapa kedua rekannya memutuskan untuk saling berbagi duka? Tentunya, ia selalu ingat jika wanita tak semuanya ikhlas berbagi. Jika memaksa, mereka hanya akan sama-sama terluka.

“Kenapa?” lirihnya. Satu kata yang akan terjawab dengan banyak hal dan mengurai keberadaan benang merah di antara segalanya.
Ali terdiam. Ia berusaha memikirkan apa yang harus ia lakukan. Satu hal yang pasti ia pikirkan adalah nasib sahabatnya, Rio. Pria pemilik Ardinata Inc. itu pasti tengah terpuruk, akibat kesendirian.

Ali meraih ponselnya di meja makan dan hendak menghubungi siapapun, Reva atau Rio. Ia tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan. Ia juga tahu bahwa Rio sudah cukup terbiasa dengan kesendirian, sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan yang secara naasnya dengan mobil untuk menjemput Rio di pesantren. Sebelum ponsel itu ia gunakan, sebuah panggilan dari Reva muncul di gawainya. Segera ia angkat.

“Assalammualaikum, Ma?”

“Waalaikumussalam, Ali. Rio dan Ma—“

“Gimana bisa Shifa justru menikah dengan orang lain, Ma?” Ali menyela perkataan Reva yang terdengar lirih. Maira hanya diam menatap Ali, bukan, ponsel yang digenggam suaminya. Telinganya tak lagi fokus dengan suara-suara Ali dan Mama mertuanya. Kepalanya masih sibuk mencari jawaban. Ia turut meraih ponselnya yang ada dalam genggamannya dan mengirim pesan ke dua kontak berbeda. Shifa dan Patricia.

Qhumaira: Assalammualaikum, Shifa? Apa ada sesuatu yang terjadi?

Qhumaira: Assalammualaikum, Ummu baik-baik saja dengan itu?

Tak selang beberapa lama ia melihat dua buah nomor mengirimkan beberapa pesan. Ia membuka bilah obrolan dengan Shifa, rekannya yang ia ketahui tengah dilanda cinta dengan pemilik Ardinata Inc. tempat Shifa bekerja.

Shifa Azzahra: Aku rindu kamu.

Shifa Azzahra: Ya, banyak hal terjadi dalam tiga hari ini, Ra. Besok, aku akan ke Cikarang. Kita bisa bertemu.

Qhumaira: Ya, tentu, saja.

Maira kembali menutup jendela obrolannya dengan Shifa dan membuka jendela obrolan baru dengan Patricia. Ia masih menganga tak percaya, atas dasar apa pria itu menikahi Shifa dan memadu sosok wanita luar biasa seperti Patricia. Meski tak ada yang salah dengan istri lebih dari satu, toh itu juga amalan sunnah Rasulullah. Namun, ia hanya tak rela jika para wanita adalah korban dari duka tiap saatnya.

Patricia M.: InsyaAllah, Maira. Ummu baik-baik saja dengan hal ini. Banyak hal terjadi.

Patricia M.: Ngomong-ngomong, kamu pasti belum tahu. Kalau Shifa itu putri dari sepupu Papaku. Dunia ini sempit sekali, kan?

Maira meletakkan gawainya di meja. Ia beradu tatap dengan Ali yang sudah menyelesaikan panggilannya dengan Reva. Tidak ada yang bersuara. Hanya hening yang menguasai mereka. Sampai gelombang kejut di pagi hari itu membuat kepala Maira mendadak pening. Reflek, tangannya memegang kepala.

“Pusing, Sayang?” Maira mengangguk, lemah.

Ali merangkul, mendekap, dan mengecup puncak kepala istrinya. Ia tahu dan mengerti bahwa kedua perempuan dalam satu jalinan ikatan pernikahan yang baru saja terjadi itu, sangat dekat dengan Maira. Pasti istrinya merasakan apa yang mereka rasa, meski sepertiga dari rasa yang sesungguhnya. Persahabatan para wanita itu terlihat seperti saling berbagi rasa, termasuk duka.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang