'Biarkan aku mengerti. Bahwa aku bukanlah manusia paling nelangsa.'
_________
Seorang wanita tampak tengah berjalan beriringan dengan seorang pria di taman yang cukup ramai karena sedang akhir pekan. Tangan kekar pria itu, yang terbalut kemeja dan jas formal berwarna biru gelap, terlihat melingkar penuh rasa ingin melindungi di pinggang sang wanita. Wajah tampan dengan pipi cukup tembam dan iris mata hitam yang memandang lembut; tampak tegas dan berwibawa kala dilihat setelan jasnya. Tapi, pria itu tersenyum lebar kala memandang wanita dalam rangkulannya.
"Kamu pernah datang ke sini sebelumnya?" tanya pria itu dengan nada lembut yang membuai. Wanita itu mengangguk. "Hmm, waktu kamu datang mencari pekerjaan ke kantorku?"
"Iya, Abi, dua bulan yang lalu."
"Hmm, sebelum pertemuan kita atau sesudahnya?"
"Sesudah aku menabrak Abi di lobi kantor waktu itu." Pria itu terkekeh lalu menuntun wanita dalam rangkulannya untuk duduk di sebuah kursi taman yang tak jauh dari posisi mereka. Kedua tangannya tertaut dan menggenggam erat jemari mungil istrinya yang terbalut sarung tangan hitam.
"Ya, saat itu aku dengan percaya dirinya bilang ke pegawai kantor bahwa kamu calon istriku." Keduanya tertawa.
"Padahal aku belum tentu menjadi istri Abi."
"Eits! Kamu berencana menolak aku lagi seperti di pesantren dulu?"
Keduanya kembali tertawa. Terlihat bahagia, sama seperti kelompok lain yang berada di taman. Pagi cerah dengan mentari tak begitu terik menyengat dan langit tak sedang gelap karena mendung. Pria itu tiba-tiba berdiri dan berjalan menjauh meninggalkan wanita yang duduk itu.
"Ya Allah, aku bahagia." Wanita itu bergumam dengan wajah menengadah menatap langit. Ia tak tampak mencari kemana pria di sampingnya beranjak. Jika wajahnya terlihat, maka dunia akan tahu betapa manis senyumannya kala itu. Ia benar-benar bahagia. Matanya tengah berbinar di balik burqah hitam yang ia kenakan.
Sampai kebahagiaannya bertambah kala pria yang sebelumnya ia panggil Abi itu kembali duduk. Namun, dua tangannya terulur ke depan wanita itu dengan sebuket bunga mawar putih segar.
"Bunga mawar putih favorit untuk Ummi tersayangku, Bidadari Surgaku, Qhumaira Khairina."
"Abi ...."
"Ini terima dulu, dong, Maira, Sayang. Aku jangan ditolak melulu ... sakit."
Wanita bercadar yang dipanggil Maira itu tertawa dengan menggelengkan kepala sesekali. Kemudian tangan mungilnya mengambil buket bunga berisi mawar putih di depannya. "Maaf, Abi."
Kening pria itu berkerut. "Maaf? Kenapa?"
"Aku pernah menyakiti Abi." Pria bersurai hitam legam dengan jambul rendah itu menggelengkan kepala. Ia mengusap kepala wanita bercadar yang menjadi istrinya sejak dua bulan lalu.
"Kamu menyakiti Raska. Bukan aku yang sekarang. Lagi pula, waktu itu aku memang pantas untuk terluka. Supaya aku tahu kalau di dunia ini bukan aku manusia yang paling nelangsa."
Maira menatap suami, imam, dan kekasih halalnya dengan mata hazel penuh binar. Ia menyunggingkan senyuman manis di balik cadarnya. Merasa bahwa ia beruntung memiliki pria di hadapannya sebagai suami. Sosok yang sering ia lihat ketika malam, terbangun dan bersujud mengingat dosa. Sosok yang sering ia tahu ketika usai sholat, menangis dengan air mata meleleh deras karena masa. Sosok yang sering ia mengerti akan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
EspiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...