Bab Dua Puluh Tujuh: Tanpa Pakaian

2.3K 184 27
                                    

KEGELISAHAN dari rasa cinta yang memang ibarat bara api, mengapa tak dilepaskan saja. Daripada terus menggenggamnya dan membuat tangan melepuh. Karena cinta sejati itu membahagiakan, bukan menggelisahkan. Namun, pada kenyataannya, Maira bahagia hingga ke setiap cuil perasaannya. Bahkan dengan tiap rasa sakit yang dideritanya akibat suaminya, tetapi ia tak akan mampu untuk berhenti mencintai pria itu.

Karena sejatinya, ia begitu mencintai suaminya yang telah memberikan kehidupan baginya. Ia bersandar di ranjangnya, setelah makan malam dengan kedua orangtuanya yang hanya dipenuhi dengan keheningan. Ia tahu, bahwa ia tak bisa seterusnya menyembunyikan segala luka itu. Maira hanya tak ingin menjadi pakaian yang lusuh yang ditanggalkan bagi suaminya.

Hal yang ia takutkan menjadi seorang istri, tentu saja berbagi suami. Ia melupakan setiap adab yang ia pelajari, dan berlari tak tentu arah dari segala rasa sakit yang sebenarnya jika ia melepaskan. Ia akan menjadi lebih tenang sendiri.

"Aku benar-benar tidak sanggup jika harus berbagi hati, ya Rabb."

Tidak ada air mata, hanya luapan emosi yang masih bercokol begitu dalam dan menancap kuat dalam hatinya. Segala hal yang ia lakukan untuk mempertahankan Ali di sisinya, menjadi tiada gunanya saat ia berlari. Ia terlihat seperti perempuan yang telah menyerah untuk menjadi pakaian bagi suaminya. Ia tak sanggup lagi, untuk menangis. Karena Maira merasa telah lelah menghadapi segala lukanya. Meskipun, tentu saja, harapan bahwa suaminya menjemputnya adalah hal yang tak bisa tidak diharapkannya.

Maira melihat datangnya Umi dari pintu, wanita yang begitu ia idolakan menjadi seorang istri luar biasa. Tidak sepertinya. Umi duduk di samping Maira, membiarkan hening selama beberapa saat menguasai.

"Kandungan kamu baik?"

Maira mengangguk dan tersenyum.

"Kamu  baik?"

Maira menunduk dan hanya diam.

Hanya dengan melihat respon dari Maira, Umi tentunya tahu bahwa putrinya itu sedang tidak baik-baik saja. Namun, ia tak akan mampu memberikan penawar bagi rasa sakit apa pun itu. Karena, persoalan hati antara suami dan istri hanya akan selesai jika keduanya yang menyelesaikannya dengan Maha Cinta. Bukan dengan amarah yang saling menguasai diri dan menutup nurani.

Umi mengembuskan nafasnya pelan. Kemudian mengulum senyuman, dan mengalihkan pandangannya ke jendela yang telah tertutup. Menelusuri setiap jengkal kamar Maira yang dipenuhi buku-buku dan beberapa pernak-pernik lain, serta sebuah vas baru yang dibelikan oleh Ali untuk menaruh bunga dalam kamar itu. Menggantikan vas yang pecah akibat serangkat Juragan Andi.

"Kamu tahu, kalau istri adalah pakaian dari suaminya?"

Umi Fatimah membuka mulut, tetapi ia tak mendengarkan jawaban apa pun dari Maira. Walau ia yakin, bahwa putrinya itu begitu tahu dengan hal itu.

"Umi tidak paham dan tidak perlu memahami, apa yang terjadi di antara kamu dan Ali." Umi mengambil nafas sebentar dan menatap menatap putrinya yang masih saja menunduk. "Tapi, Umi tahu bahwa kamu sedang tidak baik-baik, saja."

"Umi juga tidak mengerti, kenapa kamu bisa memutuskan untuk pulang kemari. Tapi, Umi tahu kalau hal ini harusnya sudah kamu pikirkan dengan matang. Umi tahu, kamu wanita yang meninggikan adab pernikahan dengan baik."

Maira masih diam, tanpa pembicaraan untuk membalas perkataan dari Uminya. Ia tak sanggup untuk berkata-kata, sementara dirinya masih begitu sibuk menahan agar tangisnya tak mendera. Ia tak mengerti mengapa bisa ikatan hatinya dengan sang ibu begitu kuat, hingga anak perempuannya itu terluka sedikit saja pasti akan sangat sulit seperti menyembunyikan dunia dan seisinya.

Umi Fatimah kini diam. Membiarkan bulir-bulir air mata yang telah jatuh itu kembali meluruh dari pelupuk mata putrinya, meskipun ia tahu bahwa dua manik hazel Maira telah memerah karena sering menangis.

"Jangan pergi begitu saja, Ra. Kamu sedang menapaki jalan menuju surga."

Maira mulai terisak.

"Kamu tahu, jika kamu pergi dari rumah tanpa izin suami kamu. Setiap langkah kepergian itu dilaknat oleh malaikat. Umi tahu, kamu tahu."

"Lalu bagaimana kalau hati ini begitu tersiksa di sana Umi?"

Umi Fatimah tersenyum kecil, sebuah balasan dari putrinya itu begitu berarti baginya. Tidak ada hal yang lebih melegakan, karena jika Maira terlalu lama diam—sementara perempuan itu selalu terlihat ceria dan atraktif—Umi jauh lebih khawatir. Setidaknya, perempuan itu telah membuka suara dan membuka hatinya untuk menerima sebuah ilmu baru.

Ia hanya perlu memancingnya sedikit, dan segala hal itu akan menjadikannya mengerti perkataan seperti apa yang harus ia ucapkan kepada putrinya.

"Apa pun itu, dia adalah suami kamu. Sesakit apa pun, ini bukan saatnya kamu untuk berhenti dan lari, Ra."

Maira kembali diam. Umi tahu, apa yang ia katakan adalah hal yang menyakitkan putrinya. Seolah ketika perempuan itu pergi berlari ke pelukannya mencari dukungan, justru mendapatkan cambukan untuk tetap bertahan dengan semua bara api di dalam genggaman. Ia tahu, Maira akan sangat terluka dengan setiap ucapannya, tetapi ia juga mengerti bahwa Maira sebenarnya membutuhkan hal itu. Agar luka yang sebelumnya telah menganga, teralihkan rasa sakitnya dengan luka baru yang didapatkannya.

Karena terkadang, dengan luka lain, luka sebelumnya bisa disembuhkan.

"Suamimu adalah surgamu. Jika ia salah jalan, benarkan. Bukan berlari dan melindungi diri kamu sendiri seperti ini." Umi Fatimah mengelus pucuk kepala Maira yang masih terbalut dengan kerudung. "Apakah kamu tidak berpikir, jika kamu berlari seperti ini adalah tindakan yang merendahkan pandangan kami kepada suami kamu? Kamu mau menjadi pakaian yang menanggalkan suamimu?"

Maira mendongak menatap Uminya yang juga tengah menatapnya penuh ketegasan. Ia melihat wanita itu begitu kuat dan kokoh berada di depannya yang terlalu rapuh bahkan untuk menghadapi angin kecil yang berembus menyapu kulitnya.

"Kamu bukan tidak sanggup. Tapi, kamu memilih untuk berhenti memperjuangkan apa yang seharusnya kamu perjuangkan."

Harus seberapa jauh lagi ia berjuang untuk rumah tangganya?

Ia tak memahami segala hal yang begitu menggetarkan dari sosok Uminya, dan selalu membuat Maira menjadi tak mengerti. Bagaimana cara Umi menguatkan diri sendiri?

"Jangan pikirkan diri kamu sendiri. Pikirkan bayimu, apakah kamu mau bayi kamu lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang tidak utuh?"

Umi Fatimah berdiri dari duduknya dan kembali berucap, "Jangan gegabah dalam setiap tindakan, Ra. Pandang dunia dengan sudut pandang orang lain, juga."

Setelahnya, wanita yang menjadi idolanya itu benar-benar beranjak dari kamarnya. Dan menutup pintu, meninggalkan Maira kembali seorang diri. Namun, dalam kondisi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ia tahu segala risiko yang membuatnya begitu buruk dalam hal menjadi seorang istri bagi Ali. Namun, ia juga perlu menenangkan hati sebagai seorang perempuan yang hatinya terluka.

"Apa yang harus Maira lakukan, Ya Rabb?" bisiknya kepada Semesta.

Membiarkan guguan tangis, menemaninya terlelap di atas ranjang yang ia tempati selama bertahun-tahun di rumah yang membesarkannya. Meski ia lebih lama berada di pondok pesantren, tetap saja setiap cuil kisahnya akan terukir di kamar mungilnya itu.

Hingga ia membiarkan kantuk menguasai, menyambut segala mimpi dan hal yang bisa saja terjadi di hari esok. Tanpa mengerti, takdir akan membuatnya berjalan ke arah mana. Hanya saja, kali ini, ia ingin tertidur dan melupakan semuanya sejenak. Beristirahat dari setiap luka yang melumpuhkan segala kesadarannya dalam beradab sebagai istri.

_finaira_
Jangan lupa, tetap utamakan Al-Qur'an sebagai bacaan.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang