Sembilan: Dalam dan untuk Kebahagiaan

2.8K 222 29
                                    



Suara tawa renyah dari sosok hafidzah itu mendadak menghilang, tertelan udara akibat sedikit luka menggores hatinya. Matanya berkedip-kedip, dengan binar kejut yang menyorot sendu. Bibirnya sedikit terbuka dan tampak jelas, bahwa ia tak ingin membicarakan perihal itu. Namun, wajah pria di hadapannya terlihat menuntut dan inginkan penjelasan. Tetapi, tak terlihat begitu diperlihatkan.

"Ummi?"

Gendang telinganya kembali mengirim frekuensi suara yang diterima untuk diteruskan ke otak dengan kecepatan cahaya. Setidaknya, suara itu membantu perempuan bersurai hitam lebat sedikit tersadar dari lamunan.

"Maira?"

"Astaghfirullah!" pekiknya.

Maira tengah menatap suaminya yang baru saja mencubit hidung tak mancungnya. Ia terkejut dari lamunan dan ia melamun karena terkejut. Lalu sekarang, ia tergagap.

"Eh-eh ... iya? Kenapa? Abi tadi tanya gimana?"

Pria bermanik hitam obsidian itu tersenyum lebar dan menggeleng pelan. "Nggak. Nggak jadi," ucapnya pelan penuh pengertian.

"Abi, tadi ... aku."

"Ssstt."

Ali merangkul Maira yang duduk bersandar di kepala ranjang. Pria itu menenggelamkan wajahnya di perut Maira yang berisi buah hatinya. Ia tersenyum lalu menengadahkan kepala—menatap perempuannya yang menunduk cemas. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dari pangkuan istrinya dan duduk merangkul tubuh minimalis Maira.

"Jangan terlalu dipikirkan, apa yang Abi tanyakan. Oke?" tambahnya sembari mengusap kepala Maira.

Perempuan itu mengangguk ragu. Tetapi, tetap saja. Pertanyaan Ali akan tetap membekas, bercokol, dan tak terlupakan—dari otak dalam tempurung kepalanya dan dari hati dalam dadanya. Ia membenamkan wajahnya pada dada bidang suaminya, pria halal-nya yang membuat ia jatuh hati.

Maira menghirup aroma yang menenangkannya, sedalam yang ia mampu. Karena ia tak tahu, di hari esok saat ia terbangun, apakah ia masih dapat menghirupnya selama yang ia mau. Ia khawatir, jika ia tak lagi memiliki kesempatan untuk itu. Karena ia tak lagi menyukai aroma kopi di pagi hari. Dengan kecamuk pikirannya, ia terlelap dengan sendirinya. Menyisakan tanya pada pria di sisinya.

"Apa aku melukaimu?" gumam Ali. Ia mengeratkan pelukannya.

Ali mengecup pucuk kepala Maira, lalu menyadari jika kaus abu-abu miliknya, tidak kering seperti biasa karena angin. Namun, terasa lembap. Juga tidak basah karena keringat. Nafasnya terembus dengan berat, lalu ia bergumam, "sepertinya, iya."

Ting!

Ali menolehkan kepala ke gawainya. Dering khusus untuk notifikasi dari sebuah kontak—yang beberapa hari ini menemani kesendiriannya, padahal ia tak pernah sendiri—dengan nada dering pesan masuk, demikian. Ia menatap Maira yang sudah terlelap dalam pelukannya. Kemudian melirik ponselnya yang berdering sekali lagi. Pesan masuk yang kedua. Ali menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku pria yang memiliki segalanya di sini. Tapi, aku masih ingin memiliki yang lain di luar sana."

Ali kembali mengecup kepala istrinya, lalu membenarkan posisi tidur perempuan berwajah bulat itu. Wajah perempuan yang selalu membuatnya merasa berada dalam sebuah gerbong roller coaster—banyak rasa dan tak pernah membosankan. Maira selalu memahaminya, tetapi ia tak sekalipun dapat memahami istrinya.

"Manusia yang selalu merasa kekurangan, tak pernah cukup, padahal ia memiliki banyak hal berharga yang membuatnya pantas disebut kaya. Itu manusia yang rugi, katamu." Ali berbisik. Pada Maira yang terlelap, niatnya. Tetapi diterima oleh angin dan disampaikan kepada Dzat Pemilik Semesta.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang