Bab Dua Puluh Enam: Cukup Allah

2.4K 175 13
                                    

    SEBUAH bahtera adalah rumah yang seharusnya berjalan dengan arus yang disiapkan Maha Esa, dijalankan bersama dan diurus bersama. Kesakitan yang muncul akan ditanggung bersama, meskipun itu adalah ajal yang tak terelakkan. Itu bukanlah hal yang bisa ditinggalkan begitu saja. Sejauh apa pun berlari, keduanya telah terikat satu sama lain tanpa bisa begitu saja mengalihkan pandangan. Walau hati telah berpaling, tetapi nyatanya kedua ikatan takdir itu telah pernah bersatu.

Matahari yang tampak terik itu terasa tak begitu luar biasa cahayanya, terasa menusuk kulit dengan sorotnya yang sebenarnya tak begitu menyakitkan. Maira, menatap jalanan tempat tinggalnya yang lengang dan kering kerontang. Debu-debu mulai berterbangan tanpa arah mengikuti arah angin berembus. Beberapa saat lalu ia tiba di Malang dengan sambutan pelukan Umi. Tiada hal yang dapat memberikannya ketenangan selain itu.

"Umi … Maira kangen banget."

Keduanya berpelukan, tiada kata yang terucap. Namun, seolah sentuhan dapat bercerita, setiap sisi dari tubuh Maira seolah ingin berteriak kencang untuk menceritakan betapa cemburunya ia kepada kebahagiaan.

Namun, tidak.

Abah memahami, keduanya segera masuk ke dalam rumah, kemudian Abah menyusul di belakang. Setelah duduk beberapa saat di kursi ruang keluarga dengan keheningan, ketiganya masih saja diam. Hingga beberapa menit berlalu, Maira telah menemukan sesuatu yang ia harapkan saat ini. Kedua orangtuanya telah berada dalam jarak pandangannya, ia menjadi lebih tenang dan pasti dapat memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya menjadi lebih baik lagi.

Sementara Maira merapikan dirinya lagi, ia tahu jika Abah dan Umi menyimpan beribu macam pertanyaan dalam hatinya. Namun, ia enggan untuk berbincang terlebih dulu saat ini, ia rindu dengan air segar di rumahnya dan rindu dengan kehangatan di kamarnya. Manik hazel miliknya bersitatap, ia mengulumkan senyuman.

"Maira bersih-bersih dulu."

Jika dunianya terpusat pada Ali, benar. Ia telah memiliki rasa ketergantungan dengan pria itu. Ketika memasuki kamarnya, satu hal yang ia ingat adalah pelukan Ali di bawah jendela kamarnya bersama keheningan. Maira menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian segera bersiap untuk mandi dan istirahat setelah penerbangan yang cukup melelahkan. Ditambah kondisinya yang tak baik itu, ia butuh sesuatu seperti pelukan.

"Abi, sudah sarapan belum, ya?" gumamnya ketika berjalan ke kamar mandi.

Sementara itu, Abah dan Umi yang tengah berada di ruang keluarga kini mencoba menerka hal apa yang terjadi dengan putrinya. Ia sangat yakin, bahwa Maira tak akan pulang begitu saja, tanpa ada hal yang membuatnya berani pergi ke Malang. Tanpa Ali.

"Apa kita telfon Ali saja, Um?" usul Abah setelah lama terdiam dengan Umi.

Ia melihat mata Maira yang terlihat merah dan lesu, melihat jemari Maira yang juga terlihat mengurus. Ia tak bisa membiarkan rasa penasarannya teredam begitu saja dalam hati, dan membiarkan putri kesayangannya di rumah tanpa ia membantunya sama sekali. Ia adalah Abah yang siap menanggung segala hal demi putrinya. Namun, ia tahu bahwa segala hal setelah pernikahan, putrinya bukanlah lagi menjadi tanggung jawabnya yang utama.

Umi menggeleng, ia khawatir tentu saja melihat begitu kurusnya tubuh Maira saat dipeluknya. Ia tak bisa menulikan telinga terhadap suara Maira yang terdengar membengung dan parau. Umi mengusap punggung tangan Abah yang sudah siap siaga menelfon menantunya itu. Ia menahan suaminya untuk melakukan seperti rencana awal.

"Rumah tangga mereka bukanlah rumah tangga kita, Abah."

"Tapi, Um. Umi nggak lihat Maira matanya bengep begitu? Abah nggak kuat lihatnya." Bengkak.

Umi tersenyum maklum dengan sikap protektif Abah kepada Maira, bagaimana pun ia juga sama khawatirnya kepada putri satu-satunya itu. Namun, menjadi sebuah pemicu hal lain di antara rumah tangga Maira dan Ali juga bukanlah hal baik. Karena keduanya tidak memiliki hak untuk itu.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang