Ia menjelma manusia terkaya, karena mendapat karunia Bidadari Surga di dunia.
——————Kamar yang terlihat lengang dengan suara merdu lantunan ayat suci Al-Kahfi, pagi hari itu, terdengar memenuhi ruangan. Luasnya ruang yang terbilang sangat besar dan didominasi warna gradasi warna coklat.
Kemudian, seorang pria tengah duduk bersila di atas sajadah, menghadap seorang wanita bergamis hitam. Senyuman tampak terkembang di bibir wanita itu, dengan pandangan terpusat di mushaf yang memberikan jarak di antara mereka.
“Qul lau kaanal-bahru midaadal likalimaati rabbii lanafidal-bahru qabla an tanfada kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bimitslihii madadaan.”🍁
Suara pria itu terdengar berat dan mengalun indah, menyuarakan kalimat Allah. Memenuhi setiap sudut ruang dengar insan yang ada di dekatnya. Jari telunjuknya bergerak menyusuri rangkaian huruf hijaiyah.
“Qul innamaa ana basyarum mitslukum yuuhaa ilayya annamaa ilaahukum ilaahuwwaahidun, faman kaana yarjuu liqaa’a rabbihii falya’mal ‘amalan shaalihaw wa laa yusyrik bi’ibaadati rabbihii ahadaan.”🍀
Hingga ia berada di akhir halaman, tepat di akhir surat. Ali mengakhiri bacaannya dan mengalihkan pandangan ke manik hazel yang juga menatapnya. Ia merasa menjadi orang paling bahagia di dunia, kala menatap senyum manis itu. Ia berpikir menjelma manusia terkaya, ketika memandang bidadari Surga di depannya.
“Lautan yang berubah menjadi tinta,” lirih Maira. “Abi ingat, kan? Membaca surat Al-Kahfi itu salah satu amalan sunnah Rasulullah di hari Jumat,” jelas Maira dengan suara lembut dan nada merendah, tak terkesan menggurui sama sekali. Ali mengangguk mengiyakan.
“Meskipun, banyak yang berpikir melenceng tentang sunnah Rasulullah di hari Jum’at.” Maira mengangguk-angguk dengan wajah yang berubah sendu. Ia membenarkan kalimat suaminya baru saja.
“Hanya akibat beberapa hadist yang diselewengkan.”
Sejak pernikahan, Ali meminta agar istrinya membantunya menjadi imam yang baik dalam bahtera ini. Pria itu sering kali berdiskusi pasal apapun dengan Maira di kala senggang atau di saat ia sibuk sekali pun, karena ia membutuhkan penjelasan itu. Keduanya terlihat saling melengkapi dan membutuhkan, seperti seharusnya takdir pernikahan berjalan.
Ruang itu menyenyapkan diri. Hening tercipta seakan menjadi ajufan bagi morfin teruntuk makhluk pecandu ketenangan. Pikiran mereka berkelana menapaki jalurnya masing-masing.
“Aku nanti mau jalan-jalan sama Mama, ya? Boleh, kan?”
Kening Ali mengerut, senyumnya menipis. Ia bergumam, “aku nggak diajak?”
Maira terkekeh, lalu sayangnya ia menggeleng kecil sebagai jawaban atas rajukan itu. Ia terlalu sering mendengar nada rengek dari suaminya. Meski, ia tahu bahwa pria hebat yang terbingkai di manik hazelnya itu berlaku demikian hanya padanya.
“Mau kemana, memangnya? Hmm?”
CEO Raffael Corporation itu mencembikkan bibir, lalu berdiri dan menyimpan mushaf di almari kaca dalam ruangan itu. Maira ikut berdiri dengan bibir berkedut menahan tawa. Ia masih tak bisa tak tertawa saat melihat tingkah kekanakkan suaminya. Sajadah hijau yang ia gunakan tadi, dilipatnya dan diletakkan di almari kaca yang sama di rak paling bawah.
“Mama mau ajak aku menemui sahabat Mama, mantan kepala sekolah Abi dulu.”
Ali memutar lehernya cepat dan melongo. Manik hitamnya melotot. Kemudian dengan pasti, ia menggeleng kala mengingat bahwa kepala sekolahnya dulu adalah seorang pria. “Nggak boleh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
ДуховныеCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...