Vio, mantan ketua OSIS yang pernah babak belur hingga diskors oleh Kepala Sekolah akibat bergulat dengan Ali di taman belakang semasa SMA, tengah tersenyum lebar menatap rekan semasa SMA-nya itu, Ali. Pria bermata coklat kehitaman itu sesekali menambahi ucapan Ustadz Azham yang juga berada dalam mobil yang sama, mobil Ali. Ketiga pria itu sesekali berdiskusi tentang agama, tokoh-tokoh Islam, dan wanita."Saya nanti mau punya anak perempuan dengan nama Khadijah," ucap Vio sembari tersenyum lebar menatap pentolan kajian yang duduk di kursi depan samping Ali yang tengah menyetir.
"Bagus itu. Kalau Ali, ada rencana?"
Ali diam. Sesuatu tengah menyergap pikirannya, hingga menyumbat lubang telinganya. Kata anak itulah yang membuatnya bergeming. Hingga ponselnya berdering. Ia menepikan mobilnya dan melihat layar gawai 5.5 inchi-nya.Qhumaira-ku.
Ia termenung membaca nama yang selalu mampu menghangatkan hatinya itu. Pemilik nama itu adalah seseorang yang memiliki hatinya dan selalu memenuhi keinginannya. Ali tersenyum, mengingat jika perempuan bercadar yang telah menjadi istrinya adalah perempuan tabah yang dengan gampangnya ia lukai. Ia memanfaatkan ketabahan istrinya.
Ali hendak mengangkat panggilan itu. Tetapi, Vio menyela kegiatannya itu."Siapa, tuh? Istri lo?"
"Hah?"
Ali sontak menatap ke belakang dimana Vio tengah memajukan tubuhnya untuk melihat layar gawai Ali. Ia menekan tombol power yang akan membuat ponselnya dalam nada hening, meski panggilan itu tetap ada. Ali menggeleng-gelengkan kepala, lalu kembali menjalankan kemudi mobilnya menuju rumah Ustadz Azham setelah berbincang cukup lama dengan Sakura-nya.
"Bagaimana kabar Qhumaira-ku?" gumamnya menyendu, yang tentu saja akan terdengar oleh Ustadz Azham.
Pria berjenggot klimis itu menjawab gumaman Ali tanpa menatapnya, "jika kamu dapat memperoleh yang lebih baik. Tinggalkan yang buruk."
"Apa istriku seburuk itu?"
"Menurutmu?"
"Dia luar biasa istimewa."
"Menurutmu. Kebenarannya hanya orang lain yang bisa menilainya dengan tepat."
Ustadz Azham mengendikkan bahunya, kemudian diam. Ia benar-benar pandai dalam mengolah kata-kata beserta ekspresi yang seirama dengan pengendalian psikis lawan bicaranya.
Seolah dalam segala hal, ia yang memegang kendalinya. Seolah dalam dunia ini, ia yang mempunyai predikat benar. Seolah dalam Bumi ini, ia adalah murid nabi yang mengetahui segalanya.
Ali mengerutkan kening untuk kesekian kalinya selama akhir-akhir ini. Ia lebih sering emosi tanpa sebab kepada karyawannya di kantor. Ia lebih sering merenung, meski ia akan bugar saat bertemu atau berbincang dengan Asma. Gadis manis dengan mata indah yang begitu memikatnya. Tetapi, bagaimanapun, terasa ada yang hilang dalam hatinya. Ia tahu, tetapi tidak mengerti.
Ponselnya berdering kembali. Tetapi, ia abaikan, lagi.
Hingga ponselnya itu kembali berdering untuk ke sekian banyak kali, ia masih mengabaikannya.
"Ali, HP lo itu berisik. Sini gue matiin."
"Biar."
Ali tersenyum kecil. Ia tahu siapa yang menghubunginya, meski ia tak melihat layar gawainya. Tetapi, ia merasakan medan magnet yang menarik hatinya untuk percaya bahwa seseorang yang sedari tadi menghubunginya terus menerus ialah Maira, istrinya. Ia senang ketika hal itu terjadi, tetapi ia enggan untuk menjawab panggilan itu. Karena ia menikmati tiap detik keberadaan dering-dering itu.
Lalu, ia melupakan bahwa istrinya tidak akan terus menerus menghubunginya. Memulai segala sesuatu yang terkadang harus dimulai oleh dirinya. Dering ponsel itu tidak ada lagi setelah panggilan ke 9.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
ДуховныеCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...