Dua Puluh: Makhluk Egois

2.5K 222 56
                                    


Dalam sekam kemelut ketidakpastian, Maira masih setia merengkuh tubuh suaminya. Ia hanya ingin melindungi sosok itu agar tidak menghilang ditelan malam, jika ia hanyalah bayang dari rembulan. Maira masih terisak dengan sesekali, semakin memasukkan wajahnya untuk menempel kuat ke dada bidang pria halal-nya itu. Meskipun, berkali-kali, pria itu mencoba untuk membujuknya agar segera beristirahat.

Namun, sekali lagi, ia tidak ingin suaminya pergi.

"Abi nggak akan kemana-mana, Sayang. Kumohon, percayalah."

Maira diam dan terus saja menggeleng.

Akhirnya, Ali menyerah dengan mengembuskan nafasnya. Ia melenakan tubuhnya untuk bersandar pada sofa, membiarkan perempuan yang tengah dalam pelukannya itu melepas segala rindu. Lagipula, ia juga menikmati segala sesi penuh haru itu. Ia merasa telah melepas segala gundah yang mencekiknya hingga menjadi tidak keruan, otaknya menjadi tak sejalan dengan dunia. Ia seakan kehilangan kompas, ketika tidak bertemu perempuan itu.

"Kenapa minta pulang?" tanya Ali sembari mengusap rambut Maira yang mulai menipis dan tak terawat dengan baik. Ia merasa miris.

"Hmm?"

"Kan Ummi belum sehat, kenapa minta pulang?" Ali menunduk membalas tatapan Maira yang juga mendongakan wajah untuk menatapnya. Ia melihat betul, wajah istrinya yang tersenyum manis, menatapnya penuh kekaguman, dan sempat ia abaikan.

"Kan Abi bilang mau pulang."

Kening Ali mengerut dan bertanya, "Terus?"

"Kalau Maira nggak pulang, nanti Maira nggak bisa ketemu sama Abi."

Ali memejamkan matanya dan merengkuh tubuh mungil istrinya itu. Dengan segala rasa gundah yang menempanya setelah sekian waktu ia meninggalkan Maira, ia mencoba menguasai segalanya. Ia mengecup pucuk kepala Maira yang benar-benar kehilangan aroma semasa ia masih selalu menempatkan Maira sebagai wanita satu-satunya. Kini, tubuh kecil itu makin mengurus, mengering, ringkih dan beraroma obat-obatan.

"Maaf, Sayang."

Hanya itu yang ia ucapkan. Selebihnya, ia tak mampu mengatakan apa pun untuk Maira-nya. Ia membisu. Ia terbungkam.

"Bagaimana kabar si kecil?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Anak kita sehat, Abi. Maira sering ajak bicara, ajak mengaji, bersholawat juga."

Ali tersenyum lagi dan bergumam, "maafkan Abi."

Sementara Maira menggelengkan kepala, lalu menelusupkannya kembali ke dalam pelukan Ali. Ia begitu merindukan aroma suaminya itu. Ia begitu merindukan detak jantung suaminya itu. Ia merindukan prianya yang selalu tersenyum dan tertawa hanya untuknya. Hingga ia ditelan oleh rindu, ia membiarkan kantuk menguasainya.

"Aku selalu menyakiti kamu, dan kamu selalu memaafkan aku," gumam Ali dalam lelap istrinya.

Ali segera mengangkat tubuh ringkih itu agar terbaring dengan benar di ranjang. Ia menikmati suasana hening yang begitu syahdu, terbaring bersama perempuan yang telah mengorbankan apa pun untuknya hanya untuk berbakti pada sosok suami. Ali menatap wajah Maira yang pucat dan tirus itu, ia mengusap pipi istrinya. Lalu tersenyum miris.

Namun, sebuah senyum mendadak merekah dalam pandangannya. Senyuman seorang perempuan bermata sedikit sipit dengan kerudung berwarna merah muda. Lalu mendadak perempuan itu menatapnya dengan mata sendu, dan tersenyum makin indah di kala rembulan makin meninggi. Dengan sorot mata yang begitu memukaunya dan seakan berbinar dengan sendirinya.

Perempuan itu kemudian berbisik dengan suara yang mendayu, "Akhi Ali pasti akan menikahi Asma, kan?"

Ali terdiam dan matanya terfokus untuk tidak berkedip sekali pun.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang