"Ia tak akan bosan, bahkan jika tugasnya di dunia hanya menatap wajah istrinya."
-----------------
"Gimana, masih mual? Kita ke dokter, ya?" Suara khawatir Ali kembali terdengar untuk ke sekian kali di kamar mandi dalam kamar mereka. Lalu, respon yang diberikan oleh perempuan berkerudung lebar itu masih sama, menggeleng dan tersenyum, kemudian memuntahkan cairan bening dari perutnya. Alhasil akan membuat Ali mengulang pertanyaan yang sama.
"Maira, ayolah! Kamu sudah dua kali ke kamar mandi hanya un—" kalimatnya terhenti kembali akibat istrinya yang hendak memuntahkan isi perutnya, lagi.
"Sudah."
Ali menggiring Maira, seperti pagi-pagi sebelumnya, sejak kabar kehamilan Maira didapat. Tetap sabar seperti biasanya, penuh kelembutan dan jangan lupakan wajah khawatirnya.
"Minum dulu." Ali menyodorkan segelas air putih kepada Maira yang kini duduk lemas di pinggiran ranjang.
"Abi sudah sarapan?" tanya Maira setelah beberapa saat menenangkan tubuh letihnya. Ia menatap tubuh atletis Ali dari atas hingga bawah, berseragam kantor rapi. Ali diam. Maira menundukkan kepalanya. "Maaf, ya, Abi?" lirihnya kemudian. Kening Ali berkerut.
"Kenapa minta maaf?"
"Aku tadi ... nggak menyiapkan pakaian kerja dan belum masak sarapan untuk Abi."
Ali mengembuskan napas lelah dan mendudukkan diri di samping Maira. Ia mengulas senyum dan menggelengkan kecil kepalanya. Pria berhidung mancung itu tak pernah merasa mengerti dengan apa yang dipikirkan Maira. Tapi, hal yang ia ketahui adalah wanita di sampingnya sangat menyayanginya, hingga selalu mendahulukan kepentingannya dibanding kepentingan diri sendiri.
"Kamu nggak usah masak, jangan capek-capek dulu. Jangan bandel, Ummi."
"Tapi Abi, kan, belum sarapan. Abi tunggu sini, aku siapin dulu, ya?" Maira hendak bangkit dari duduknya, setelah memaksa tubuh lemasnya untuk berdiri. Namun, Ali menahan bahunya, hingga ia kembali duduk dan menatap bingung suaminya.
"Aku puasa hari ini. Jadi, Ummi bisa istirahat saja?"
Mata hazel wanita berpipi tembam itu mengerjap-kerjap lucu bersamaan dengan tatapan penuh tanya kepada Ali. Pria itu melebarkan senyuman, sembari berusaha untuk menahan tawa dan tangannya agar tidak mencubit gemas pipi istrinya. "Kenapa baru bilang sekarang?"
"Lupa mau bilang."
Bibirnya mengerucut dan kepalanya mengangguk-angguk mengerti. Lalu senyumannya menipis dan ia meletakkan kepala ke dada bidang Ali. Pria itu merangkum tubuh Maira dan sesekali mengecup pucuk kepala Maira. Mereka terlihat seperti potret yang tak akan lekang oleh waktu dengan segala bingkai kemesraan sempurna dan tak terrusak. Namun, sesuatu datang sebagai entropi dalam kehidupan.
Hening. Seakan keheningan itu adalah pemacu kasih sayang di antara mereka. Hingga dering ponsel mengejutkan mereka, dering ponsel Ali.
Sampai dering ketiga untuk panggilan kali ketiga pun, masih ia abaikan, demi menikmati masa kenyamanannya merangkum sosok bidadari Surga tercintanya. Maira mengernyit dan menjauhkan diri dari Ali. Lalu matanya menelisik dan tangannya terulur mengambil ponsel yang ada di nakas dekatnya. Ia melihat nama sekretaris di kantor suaminya dan banyak notifikasi pesan dari obrolan grup Whatsapp bernama 'Ikhwan Hijrah'. Maira tahu akan grup itu, tapi tak ingin mencampuri obrolan para lelaki. Ia membiarkan Ali bergabung dengan grup para ikhwan itu.
"Dari Boy. Kenapa nggak diangkat, Bi?"
"Biarkan saja, Ummi-ku, Sayangku." Ali melirik arloji hitam yang menunjukkan pukul 7 lebih tiga puluh menit. Sebuah senyuman selalu terukir tanpa sengaja di bibirnya, ketika melihat arloji itu. Karena ingatannya kepada sosok yang memberikan hadiah arloji itu. Maira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
SpiritüelCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...