Dua Puluh Dua: Secepatnya

2.2K 186 77
                                    


Ali tidak ada kabar sama sekali.

Hal itu membuat Reva geram tidak keruan kepada putra satu-satunya itu, di saat ia panik akan keadaan menantunya yang kini begitu lemas. Yang kini telah dengan secara darurat dibawa ke rumah sakit, setelah adegan memilukan yang ia saksikan tak lengkap itu. Lalu, insiden pendarahan yang parah dan tiba-tiba membuat Maira tidak sadarkan diri, secara tiba-tiba juga. Ia tidak mengerti, apakah Maira terjatuh atau sengaja duduk di balik pintu utama itu seperti orang yang mengais sesuatu.

Reva berulang kali mencoba menghubungi Ali, sejak dini hari tadi. Tetapi, putranya itu benar-benar menghilang. Justru, Rio dan Amanda yang notabene bukanlah keluarga dari Maira, justru datang dalam sekejap setelah mendapatkan kabar Maira kembali ke rumah sakit dan mengalami pendarahan. Namun, Ali? Hingga waktu Maghrib hampir tiba, tetapi tidak ada kabar sama sekali.

"Dasar, Bapak dari anak-anak yang akan dilahirkan Maira. Dimana, dia?!" ucapnya marah.

"Sabar, Tante."

"Rio coba cari Ali, ya?" tanya Rio menawarkan diri. Ia juga tidak akan tega jika terjadi sesuatu pada keluarga sahabatnya itu. Ia tahu, bahwa yang dikatakan Amanda beberapa waktu lalu sepulang dari insiden mengikuti Ali ke rumah seorang pria gembul bersuara lantang. Bahwa Ali butuh rangkulan untuk kembali, dalam pijakan yang benar. Reva mengangguk pasrah.

"Minta tolong, ya, Rio."

Tidak menunggu lama, Rio segera bergegas untuk mencari dimanapun gerangan batang hidung sahabatnya itu berada. Ia tak akan segan untuk memukulinya, andaikata terjadi sesuatu hal kepada Mairagadis yang sering sekali menerima ejekannya sejak di pondok pesantren dulu. Dan ia malu, karena Maira tidak sekalipun pernah membalas ucapannya dengan ucapan yang sama buruknya.

Namun, belum sampai Rio tuntas berjalan melewati koridor di lantai tempat Maira dirawat. Seseorang yang menjadi target dari semua percakapan pencarian itu muncul begitu saja di ujung lorong, dengan balutan jas yang telah rapi. Dan rambut yang juga telah tertata dengan apik, seperti pada hari-hari sebelumnya. Rio mengerutkan kening, saat Ali tersenyum kecil menyapanya, lalu melintas melewatinya begitu saja.

"Heh!?"

"Kenapa,sih?"

"Lo gila? Darimana saja, lo?"

"Diam, deh."

Hanya itu, lalu Ali segera melanjutkan perjalanannya ke kamar Maira berada yang tentu saja ia tahu dari puluhan pesan singkat dari mamanya. Tetapi, tidak satu pun yang ia balas. Kemudian, Ali menghadap Reva yang berdiri tepat di depan pintu kamar rawat inap Maira. Ia menyalami Reva yang tentu saja ia sadari tengah marah besar kepadanya. Namun, entah mengapa ia tidak menggubris semua hal itu. Ia tersenyum.

"Ma, Ali antar pulang. Mama dandan yang cantik."

"Ha?!"

"Ayo, Ma."

Plak!

"Kamu sehat?" ucap Reva sembari menunjuk wajah Ali yang terlihat biasa saja. Meskipun, ia begitu tahu, bahwa sedari tadi, mata Ali tidaklah benar-benar berbinar seperti pada saat Ali bersama Maira. Binar itu hilang, tiada.

"Istri kamu baru saja mengalami pendarahan dan kamu minta mama dandan buat apa? Ha?!"

Ali diam.

"Jawab Mama!"

Ali tersenyum, lalu menatap mamanya dan berucap, "ayo ikut Ali ke rumah Asma."

Mama Reva mengerutkan keningnya, tentu saja ia tidak mengenal sosok yang disebutkan oleh putranya itu. Tetapi, sebelum Reva bertanya, Rio sudah maju terlebih dulu dan mengirimkan sebuah bogem mentah ke wajah Ali. Rio terlihat begitu geram dengan apa yang dilontarkan Ali. Sedangkan, Amanda hanya terkejut melihat adegan cepat baru saja dan melongo terkejut akan ucapan Ali. Bukannya ia tidak mengetahui siapa Asma dan untuk apa Reva diajak berkunjung kesana.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang