"Maira?!!" teriak Reva, setelah menjawab salam dan membuka pintu utama sebelumnya. Wanita paruh baya itu memeluk putri menantunya dan mengecup dua pipi bergantian. Hal itu cukup membuat Maira dapat dibilang jika ia tertimbun kasih sayang. Hingga ia melupakan, jika timbunan itu suatu saat dapat membuatnya sesak nafas.
"Ali mana, Sayang? Kok sama Boy?" tanya Reva ketika melihat sekretaris putranya menurunkan koper kecil dari bagasi dan meletakkan di dekat Maira.
"Terima kasih, Boy, kamu bisa kembali ke kantor." Maira tidak menjawab pertanyaan mamanya.
"Baik, saya permisi. Mari, Bu Maira, Bu Reva."
Maira menyeret kopernya dan menggandeng Reva untuk masuk rumah. Wanita itu akhirnya tak mempertanyakan keberadaan Ali. Meski tidak akan bertahan lama, tetapi, setidaknya dia punya waktu untuk menyusun kalimat dalam otaknya. Maira hendak ke lantai atas, untuk beristirahat di kamarnya tentu saja. Tetapi, ia kembali ditahan oleh Reva.
"Ali mana, Sayang? Kamu kok sendirian?"
"Abi lagi ada urusan mendadak, Ma."
Reva mengernyit. Aneh, jika hal itu terjadi pada putranya yang membiarkan Maira pulang dengan Boy. Bukan hal yang dapat dikategorikan hal biasa. Itu mengejutkan.
"Maira istirahat ke kamar du—"
Reva melihat Maira menghentikan kalimatnya sendiri, lalu merogoh tas samping. Ponsel Ali bergetar disertai dering kecil dan tertera sebuah nama. Maira tak pernah mengenal nama itu, lalu segalanya menjadi terasa lebih menyakitkan saat mendadak pintu utama terbuka sangat keras. Ali tampak berkeringat dan terburu. Menghampiri Maira yang menatap dengan hazel berkaca layar gawai 5.5 inchi itu.
"Ali?" heran Reva.
Ali tak mengacuhkan mamanya, ia lebih memilih menyabet ponselnya yang masih berdering di tangan Maira. Ia tampak marah dan sangat tidak suka dengan yang dilakukan Maira. Alisnya bertautan.
"Jangan lihat ponselku!"
Reva melongo.
"Ali!" bentaknya tak suka. Menantunya sedang hamil, lalu putranya membentak perempuan itu hanya karena melihat ponsel. Hal yang sangat tidak patut dilakukan oleh seorang suami dan calon ayah. Sekaligus hal yang tak pernah dilakukan oleh Ali kepada hafidzah itu.
"Maaf, Ma. Tapi, Ali ada urusan." Ali menyalami Reva dan pergi, dengan langkah tergesa pula.
"Ali!"
Tidak ada satu teriakan pun yang ditanggapi oleh Ali. Pria berjambul rendah itu sudah menjalankan mobil SUV hitam miliknya, meninggalkan pekarangan rumah. Terdengar hingga telinga kedua perempuan itu, ketika gerbang tertutup dengan keras.
Maira masih diam. Ia bergeming. Suara penuh amarah yang keluar dari suaminya, adalah hal yang tak pernah ia ajuk. Bahkan terlintas dalam pikirannya pun tidak. Ali juga adalah pria yang selalu memperlakukannya dengan lemah lembut. Tetapi, nama penelepon di ponsel Ali yang ia baca dengan pandangan kabur cukup menjelaskan banyak hal. Segalanya. Termasuk perubahan atmosfer manis antara mereka. Hingga kehangatan antara mereka yang mulai mendingin.
Asma Hanna.
Nama yang indah, batinnya miris.
"Sayang?" lirih Reva. Maira menatap mamanya, tetapi sebagian kesadarannya telah keluar secara paksa bersama bentakan Ali. Berlebihan memang, tetapi, ia sangat terkejut dengan perlakuan suaminya. Itu adalah Ali yang tak pernah ia kenal dan ia harap tak pernah mengenalnya.
"Are you okay? Mama antar istirahat di kamar, ya?" Maira hanya mengangguk lemas.
Reva membiarkan Maira melenakan diri dalam kamar yang tercium sangat kuat aroma Ali. Ia tak yakin membiarkan menantunya itu sendirian setelah mendapat perlakuan tak menyenangkan dari Ali. Tetapi, ia tahu bahwa pada beberapa kondisi, hati akan bertindak lebih masuk akal setelah bermeditasi dalam keheningan. Meski, dalam beberapa kasus hal itu cukup membahayakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
EspiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...