Dua Puluh Empat: Pakaian untuk Abi

2.3K 206 45
                                    

Selama telinganya sibuk berkutat menerima harmoni penuh kelembutan dari Maira, ia begitu takjub akan hati sempurna perempuannya itu. Pria beralis tebal yang kini hanya mampu diam tak berkedip, tak mampu memalingkan pandangannya, bahkan untuk sedetik pun ia enggan untuk tidak menatap wajah ayu di hadapannya. Perempuan ayu yang tengah berada dalam rengkuhannya, perempuan halal yang berstatus sebagai istrinya, perempuan luar biasa yang selalu mengagungkan dirinya.

Ali menatap kedamaian yang ia saksikan di wajah Maira yang terlelap memeluknya. Wajah itu menirus, seakan kesedihan begitu menggerogoti tubuhnya. Ali hanya diam, ia mendengarkan setiap kelembutan yang diucapkan Maira. Seperti perempuan itu tengah berperan sebagai bidadari surga untuk menyambutnya di Bumi. Lalu siapa yang akan menyambutnya nanti di akhirat, jika ia meninggalkan bidadari itu di dunia?

"Aku sayang Abi."

Deg!

Ali mengerutkan kening.  Ia kembali menatap Maira dengan lekat. Tiada pergerakan apa pun, kecuali bibir mungil itu yang bergerak kecil. Perlahan tangannya merambat ke wajah Maira, mengusap perlahan kening yang selalu ia kecup, lalu turun ke kelopak mata yang menyimpan binar penyejuk hatinya, hingga ke bibir istrinya yang selalu berucap penuh keindahan seolah-olah dirinya adalah raja.

"Tidurlah dengan tenang, istriku."

Akhirnya, Ali turut membiarkan kantuk menyeret dirinya. Ia merapatkan pelukannya, seolah ia enggan membiarkan udara rumah sakit memeluk istrinya. Perlahan, Ali mulai kehilangan kesadarannya disusul dengan embusan nafasnya yang mulai kian teratur. Dan hal itu datang bersamaan dengan terbukanya kelopak mata Maira, menampakkan dua kelereng tanpa binar penuh cinta. Namun, menatap dan menyorot begitu lembut kepada sosok di hadapannya.

"Tidurlah Abi, beristirahatlah dari semua luka dunia. Dan biarkan aku yang menyimpan bagian lukanya," bisik Maira sembari mengecup kening suaminya.

Maira lagi-lagi merengkuh tubuh suaminya itu. Berharap semua hal yang tidak mengenakan pada suaminya akan berpindah kepada dirinya, sehingga pria yang telah memberikan segalanya baginya itu hanya dapat merasakan kebahagiaan. Namun, ternyata ia tidak menyadari bahwa pria itulah yang mencari luka itu sendiri.

"Aku tidak membenci Abi yang ingin menikahi perempuan itu. Aku tidak membenci Abi. Tapi, Maira tidak ingin berbagi hati Abi. Maaf."

Maira menarik dirinya dari rengkuhan suaminya perlahan, setiap inci badannya terasa mengendap-endap dan mulai bangkit dari brankar yang ia tempati dalam beberapa jam, sejak dini hari tadi. Perlahan-lahan, ia mulai menurunkan kakinya yang ia kemudian menjejak lantai porselen marmer di rumah sakit itu bersama alas kaos kaki yang selalu ia kenakansebagai upayanya menutup aurat dengan sempurna.

Sekali lagi ia menatap suaminya yang begitu damai, lalu ia duduk kembali di brankar setelah berhasil berdiri. Tidak lupa menyelimuti suaminya, ia mencium kening Ali pelan selepas mengusapnya. Ia tersenyum, karena kerutan di kening Ali telah menghilang karena usapan jemari mungilnya. Maira mengecup kening Ali sekali lagi dan menahan diri agar lelehan keringat dari hatinya itu tidak segera mencari hilir yang bermuara di hatinya. Berusaha menyimpan segala keindahan dari Allah azza wa jalla yang telah diberikan kepadanya melalui sosok Ali.

"Maira mohon ampuni dosa karena melakukan ini Ya Rabb. Ringankan laknat atas apa yang hamba lakukan. Hal ini adalah sesuatu yang akan membuat suami hambat sadar," ucapnya lirih menahan isak.

Maira membekap mulutnya sendiri, tak ingin suara isak tangisnya mengganggu jam istirahat suaminya. Ia segera menjauh, dan pergi ke kamar mandi dalam ruangan tempatnya dirawat. Tidak lupa mengambil botol infus dan juga tiang penyangganya. Menahan segala luka hati yang telah tercabik karena tiada pengertian dari sang suami, ia enggan untuk berbagi hati. Meskipun, hal demikian diperbolehkan dalam Islam. Namun, ia tidak sanggup melakukannya.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang