Tiga: Penumpang Bahtera dan Karunia

4.9K 327 63
                                    


Tempat ternyaman di dunia, selain tempatnya bersujud dan berkencan dengan Kekasihnya.
——————


Seperti sebuah kapal yang tengah berlayar—memang seharusnya demikian—dan menemukan pulau berisi harta karun. Maira tak henti-hentinya tersenyum kala mengingat penjelasan dari dokter, beberapa saat lalu. Meski, dokter itu berkata akan lebih baik jika melakukan tes. Namun, dokter itu terlihat amat yakin kala mengatakan bahwa kabar bahagia itu benar-benar datang.

Menimpanya.

Merangkulnya.

Menerbangkannya.

Kemudian, ia berharap bahwa ia akan terjatuh di awan yang berupa rangkulan. Tubuh bidang dan tangan kekar suaminya. Terasa seperti tempat ternyaman yang ada di dunia selain saat ia bersujud dan berkencan dengan Kekasihnya. Reva yang sedari tadi merangkul lengan Maira, tak kalah heboh dengan menunjukkan senyumannya setiap saat. Bahkan matanya bersinar terasa menampakkan bahwa ia manusia paling bahagia di dunia.

“Selamat, Nyonya Maira, Anda tengah mengandung.”

Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Mulutnya terus mengucap syukur kepada Allah, ia bahkan menitikkan air mata. Bukan karena duka. Tapi karena bahagia.

“Kita ke kantor suami kamu, ya, Sayang?”
Maira mengangguk antusias. Kemudian, mobil keluarga Raffael itu mengantar dua wanita berbeda generasi itu ke kantor pusat sebuah perusahaan manufaktur di Cikarang. Kawasan bisnis dan bercokolnya perusahaan-perusahaan besar. Kota Jababeka. Mobil Jazz hitam itu melesat menikmati jalanan kota yang sedikit lengang, hanya sedikit.

“Apa Abi akan senang, Ma?” lirih Maira.

“Tentu saja.” Reva tertawa. “Tapi Mama khawatir.”

“Khawatir?”

“Kamu pasti masih ingat, saat dia berhasil membuat kamu tertawa nyaring pertama kali sejak sampai di Cikarang?” Maira terkekeh. Ia mengangguk-angguk, membenarkan perkataan Reva. Ingatannya menelisik kembali kejadian satu bulan pasca pernikahannya. Tiga bulan lalu.

Maira tengah membaca buku yang baru saja ia beli, meski ia sudah pernah membaca versi lainnya. Sebuah buku berisi catatan peradaban Islam yang ditulis oleh Abdul Syukur al-Azizi. Ketenangan embusan angin sore di taman belakang rumah suaminya. Hingga sebuah tepukan lembut di bahunya membuat ia memutar leher dan mendongak. Matanya beradu dengan manik hitam pria yang menyelamatkan hidupnya dari Andi, juragan kaya pengepul wanita.

“Lagi baca?” Maira mengangguk dan menggeser duduknya, menyisakan ruang agar suaminya dapat duduk di sisinya.

“Baca apa?” Maira menunjukkan sampul hitam dengan judul berwarna emas—seakan turut menggambarkan bahwa peradaban Islam lebih bersinar dari emas itu. Pria itu mengangguk-anggukan kepala, kemudian diam. Ia tak terlalu pandai membuat suasana, jadi ia bingung harus memulai pembicaraan. Ditambah rasa gugupnya di samping Maira. Wanita yang dicintainya sejak lama.

Keheningan itu berubah menjadi berisik dengan degupan jantung Ali. Sebagai akibat dari jatuhnya kepala Maira di bahu tegapnya, yang kini menjadi tegang. Ia menelan salivanya, berharap rasa gugupnya ikut tertelan.

“Abi mau baca juga?” tawar Maira. Wanita itu terdengar biasa saja, seakan tahu bahwa pria di sampingnya membutuhkan bantuan untuk bersuara.

“Boleh.”

“Tapi ada syaratnya.”

“Syarat?” Maira mengangguk. “Syarat apa?”
Maira mengangkat kepalanya dan menatap lekat Ali. Pria itu lebih gugup dari sebelumnya, tapi hatinya diselimuti kekhawatiran. Maira berucap lembut yang membuatnya menganga, “Abi harus buat lelucon sampai aku ketawa nyaring.”

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang