Manusia yang merencanakan, Allah yang menentukan.
————————
Angin berembus kecil, menerbangkan ujung kerudung hitam lebar yang menjadi pelindung si pemakai. Abu dan debu yang mungkin turut tersapu dan terbang beradu dengan tubuh-tubuh manusia perindu Surga. Kedua sejoli yang tentunya sepasang menoleh serempak ke kanan, ke sebuah surau yang didominasi warna putih dan hijau. Selepas sebuah suara tak asing menyapa ruang dengar mereka.Seseorang mendekat dengan senyuman lebar dan langkah tergesa. Setelan jubah putih sepanjang hingga betis dan celana cingkrang berwarna coklat tua yang terlihat dari jauh seperti hitam. Lalu sebuah peci putih menjadi pelengkapnya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab salah seorang di antaranya perlahan, satu-satunya insan berkerudung dan bertutup muka—Maira.
“Wa’alaikumussalam,” sahut pria yang merangkul pinggang Maira. Lalu mengulas senyum menyambut pengucap salam. “Ibrahim, kan?” lanjutnya.
Pria berpeci putih itu tersenyum makin lebar dan kini terdengar seperti akan ada bunyi kekehan dari mulutnya. Ia mengulurkan tangan dan saling berjabat antar tangan kanan.
“Aku yakin, kamu masih ingat denganku, Li.”
Ali membalas kekehan rekan lamanya dari pondok pesantren itu, yang sebenarnya tak bisa disebut sebagai rekan, karena mereka tak pernah bersua secara personal. Hanya tegur sapa, salam, dan tentunya peringatan dari Ibrahim sebagai salah satu pengurus pondok putra tentang kenakalan Ali. Kabur dan menjahili Maira, tentu saja sebagai topik utama yang sering dilakukan pria itu di masa remaja.
Ibrahim mengangguk kecil ketika mengarahkan pandangan ke Maira. Wanita itu hanya diam. Sedangkan, entah apa yang membuat wajah Ali memerah kemudian memadam saat Ibrahim melakukan gerakan kecil menyapa wanitanya.
“Tentu saja.”
Ali menjawab singkat mengalihkan rasa kesalnya. Tetapi, rupanya ia yang berniat menyembunyikan perasaan aneh dalam hati justru tersalurkan ke suara dan nada bicaranya. Terdengar sedikit ketus.
Ibrahim menyita sedikit senyumnya dan berdehem kecil. Menyadari tingkah Ali yang tak suka ia menyapa Maira. Ia mengerti. “Baru dari Cikarang, ya? Mau mampir dulu ke rumah?”
“Iya, baru sampai. Nanti ya, insyaAllah, kami ke rumah dulu. Masih jetlag.” Ali terkekeh garing yang terdengar terpaksa, tapi tidak ketus seperti sebelumnya. Ia merasa bukan remaja yang harus berebutan cinta dengan remaja pria lain. Maira sudah memilihnya, bukan pria di hadapannya. Satu keyakinan yang ia tanamkan dalam diri.
“Ooh, begitu.” Ibrahim terkekeh. “Ya, sudah, kalian pasti lelah. Istirahatlah sebentar, dua jam lagi Dhuhur.”
Ali mengangguk-angguk dan menatap Maira yang menunduk, diam sedari tadi. Ia kembali merangkul istrinya itu, membuat Maira menatap Ali dari samping. Pria itu tersenyum lebar. “Sip. Aku ke rumah dulu. Assalammu’alaikum,” pamit Ali kepada rekan lamanya.
“Wa’alaikumussalam.”
Sinar mentari yang tengah sedikit terik itu tak mengenai seluruh tubuh Maira. Karena Ali yang berjalan di sisi timur dan melindungi tubuh mungil itu. Tentu saja, ia tak akan rela membiarkan panasnya sinar mentari di dunia mengenai tubuh istrinya. Apalagi panasnya api di akhirat kelak.
Ali kembali menuntun Maira dan berjalan seiring, seperti nasihat pernikahan bahwa istri dan suami hakikatnya harus berjalan seiring. Bukan digiring. Berjalan beriringan dan bersamaan, karena tak sepatutnya ia meninggalkan istrinya, kecuali Maira berada di rumah. Harusnya ia mempraktikkan salah satu hadist tersebut, tak terkecuali dia di bandara tadi pagi. Ali melihat rumah mertuanya ada di depan matanya. Selangkah saja, ia akan memasuki halaman mungilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
ДуховныеCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...