"Assalammualaikum, Maira."
Perempuan berjilbab coklat tua pun menoleh ke pintu yang terbuka perlahan sembari menjawab salam dengan suara lirih. Seorang wanita pebisnis yang ia kenal belum seberapa lama, setelah pertemuan pertama di kantor Ali, beberapa minggu silam. Ia tersenyum makin lebar, mendengar rekan barunya itu menggerutu pada seseorang di luar ruangannya.
"Tunggu di luar! Jangan masuk!"
Tetapi, Maira mengerutkan keningnya ketika merasa mengenali sosok pemilik suara bariton yang menjawab gerutuan Amanda Mandrika.
"Aku juga pengin jenguk Maira!"
"Maira nggak pakai cadar! Sudah, deh! Pebisnis bawel!"
"Ya, sudah! Sana! Masuk saja! Menyebalkan!"
Lalu pintu itu tertutup setelah Amanda masuk dengan membawa keranjang berisi buah-buahan berlapis plastik, yang dibeli wanita itu ketika dalam perjalanan ke rumah sakit. Tentu setelah beradu argumen yang sebenarnya tak perlu dilakukan oleh dua pebisnis muda itu. Amanda menyampirkan rambutnya ke belakang telinga sembari menatap Maira yang berbaring di brankar dengan pakaian rumah sakit.
Maira tersenyum penuh makna dan Amanda menyadarinya. Ia berucap, "jangan menggodaku, Ra."
Maira terkekeh.
"Ternyata pria menyebalkan yang selalu hadir dalam cerita-cerita kamu itu Rio Adinata?"
Lagi-lagi, Maira terkekeh ketika mendapati pipi rekan barunya itu memerah. Lalu kembali menyampirkan rambut ke belakang telinga, padahal posisi rambutnya sudah rapi, dan baru saja ia rapikan beberapa saat sebelumnya. Maira memicingkan mata, bermaksud menggoda rekannya. Tetapi, Amanda mendelik—mencoba menghentikan kegiatan Maira.
"Memang selalu ada hikmah di balik segala peristiwa. Benar, kan?" tanya Maira.
"Stop it, Ra."
Maira tertawa kecil. "Baiklah-baiklah, kutunggu kabar baik dari hubungan kalian."
Amanda melongo, tetapi langsung menunduk bermaksud menyembunyikan pipinya yang kembali merona dari Maira. Tetapi, hal itu membuat Maira makin lama tertawa. Namun, Amanda merasa miris di tengah tawa Maira. Apa yang harus ia katakan pada perempuan berhati bak malaikat itu, tentang Ali. Ia merasa tak sampai hati menyampaikan apa pun hal menyakitkan kepada rekan barunya yang selalu tersenyum itu. Amanda berpikir begitu keras, hingga terlupa untuk melanjutkan langkahnya menghampiri brankar Maira.
Maira mencoba memanggil Amanda sejak tadi, tetapi tidak berhasil. Lalu, beruntungnya, pintu terbuka menampakkan sosok Reva dengan tas jinjing yang sedikit menggembung. Padahal ia bisa mengenakan pakaian rumah sakit, tetapi mamanya pasti tetap membawa banyak baju ganti untuknya.
"Eh, ada ...?"
"Amanda, Nyonya Reva. Amanda Mandrika."
"Ooh, yang tadi ketemu di ...." Reva menghentikan kalimatnya dengan lambat, karena ia hampir saja terlupa menyebutkan nama 'Ali' di depan Maira. Ia menatap Maira yang juga menatapnya dengan sorot penasaran.
"Depan rumah sakit," sambung Amanda ketika tahu isyarat canggung dari Reva.
"Iya, tadi ketemu di depan rumah sakit." Reva terkekeh sumbang dengan berjalan mendekati brankar Maira dan mengusap lembut kain penutup aurat yang ada di kepala Maira.
"Panggil Tante, saja. Jangan Nyonya."
"Siap, Tante."
Reva menata pakaian Maira ke dalam lemari kecil yang ada di ruang rawat inap kelas VIP itu. Termasuk mukena dan Al-Qur'an yang diminta Maira. Tetapi, saat ia hendak memasukkan mushaf itu, Maira mencegahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
SpiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...