London.
Malam itu Fanny mengajak Alsha menelusuri jalanan di daerah Notting Hill yang terkenal karena bangunan-bangunannya yang artistik dan classy serta suasananya yang romantis. Gemerlap cahaya dari meriahnya langit malam yang dihiasi taburan bintang seakan melengkapi senyuman lebar di bibir kedua sahabat baik itu. Mereka melewati kafe-kafe dengan unik serta apik, sambil sesekali mengunjungi toko penjual barang-barang antik sekitar situ.
Fanny menunjuk sebuah tembok yang dipenuhi mural berwarna-warni itu. Di Notting Hill mural itu di sebut sebagai Graffity Banksky. Kali ini mata gadis itu tertarik memperhatikan gambar beruang besar yang memegang sebuah botol berisikan api, beruang itu mengangkat satu kakinya seakan menantang tiga orang aparat kepolisian di depannya itu. Lalu di atas ketiga orang yang digambarkan sebagai aparat kepolisian tersebut Banksky menuliskan kata; The Mild Mild West.
“Ada ya orang sekeren Banksky menciptakan mural di tembok. Memang gak susah ya?” cetus Fanny menatap takjub gambar itu.
Alsha mengangguk setuju seraya menjilat es krim rasa vanilla yang baru dibelinya itu, dia ikut berdiri di samping Fanny memperhatikan garis mural yang indah tercetak jelas di dinding. “Aku pernah baca artikel, Banksky pernah bilang kalau dia menggunakan apa pun. Kadang-kadang hanya menggambar kumis di wajah seorang perempuan pada beberapa billboard, atau memakai gambar lebih rumit lagi. Efisiensi adalah kunci dari keberhasilannya.” jelas Alsha.Fanny membulatkan mulutnya membentuk huruf O. Dia menoleh ke samping mengernyit saat tahu Alsha tengah asik dengan es krimnya. “Kamu kok gak ngajak aku beli es krim sih?”
“Habis kamu sibuk merhatiin tembok jadi aku beli aja sendiri.” Alsha membela diri.
Fanny tertawa tapi kemudian dia teringat apa tujuannya mengajak Alsha keluar malam ini, dia berdeham pelan mengalihkan perhatiannya dari Alsha kembali ke tembok. “Sha, kamu yakin sama keputusanmu untuk meninggalkan London?” tanya Fanny harap-harap cemas.
Alsha tersenyum menghadapkan wajahnya kembali ke tembok. Sekuat tenaga dia tak mengeluarkan suara yang terdengar menyedihkan sebab dia tak mau Fanny menyadari bahwa dirinya tidak pernah menginginkan takdir itu membawanya pergi meninggalkan London. Hanya saja dia terpaksa melakukannya, dia tak ingin terus berada di ruangan yang membuatnya sakit hati.
Berada di London mengingatkan Alsha akan kebahagiaan yang pernah direnggut paksa oleh orang terkasihi. Berada di London membuat Alsha tak pernah bisa tenang karena terbayang-bayang rasa sakit akan masa lalunya.
"Aku kangen sama Indonesia, Fan," kilah Alsha menutupi raut wajahnya yang sendu dengan suara tawa yang menggelegak. "Emangnya kamu gak kangen sama kampung halaman sendiri apa?"
Fanny mengerti Alsha tak ingin membahas perihal kepindahannya karena itu sama saja akan membongkar alasan Alsha kenapa dia pergi walau sebetulnya tanpa diberitahu pun Fanny jelas mengetahui.
"Ya, aku juga kangen sih. Apalagi sama Genta." balas Fanny terkekeh teringat kekasihnya itu tinggal di Indonesia.
Alsha tergelak, mengerutkan keningnya memandang Fanny aneh. "Loh kok jadi Genta sih yang dikangenin? Keluargamu yang di sana enggak tuh?" tanyanya menggoda.
"Ah, aku kangennya sama Genta aja. Kalau sama keluargaku enggak, abis ya kalau aku kumpul sama mereka diledekin bule nyasar mulu. Kan, gak enak banget tuh." dengusnya keki.
Alsha mencolek dagu Fanny usil. "Emangnya kalau sama Genta kamu dipanggilnya apa? Sayang? Ayang? Baby? Atau kecintaan nih?" godanya menaik turunkan alis lucu.
Fanny tertawa menepis jari Alsha dari dagunya. "Ih, sembarangan aja kalau ngomong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Comeonlate
Teen FictionSiapa sangka dikejar-kejar oleh cewek cantik menggemaskan dari London bukanlah ketiban durian runtuh melainkan malapetaka bagi kehidupan seorang Davin. Semenjak kedatangan absurdnya Alsha ke Indonesia membuat Davin harus ekstra berhati-hati tiap kal...