Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, saat dirinya terbangun dari tidur tak sengajanya itu. Dia melirik Davin yang masih memejamkan matanya lalu berpamitan pada Lollypop yang baru saja kembali dari kafetaria Rumah Sakit. Bergegas, dia keluar dari lift dan melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Dokter Frans. Dia memasuki ruangan dengan cat putih bersih, wangi melon menyeruak memasuki indera penciumannya.
Alsha memilih duduk di sofa yang tepat berada di depan meja kerja Dokter Frans, sebuah papan nama besar bertuliskan nama dan gelar Kedokterannya itu sebagai spesialis penyakit dalam. Dengan hati yang saling berdentum Alsha memperhatikan bingkai foto yang terpasang rapi di dinging ruang kerjanya. Namun foto-foto tersebut bukanlah foto Dokter Frans melainkan foto yang menampilkan wajah-wajah pucat itu tetap menunjukan senyum berserinya.
Alsha beranjak dari sofa, dia melangkah pelan mendekati sebuah bingkai yang di dalamnya terpotret anak perempuan berkisar usia tiga belas tahun. Anak perempuan itu tersenyum cerah dibalik wajah pucat pasi serta kepalanya yang botak. Di bawah foto itu ada segaris putih bertuliskan In memorial Renata Deviana, 11 Januari 2014. Rasa tegang kembali menghantui dirinya. Alsha mulai paham apa maksud dari seluruh bingkai tersebut, itu adalah foto pasien yang gagal Dokter Frans selamatkan nyawanya.
"Namanya Rena, dia meninggal saat operasi sumsum tulang belakang."
Tak perlu Alsha menoleh untuk melihat siapa yang berceletuk, sebab suara itu telah dihapalnya di luar kepala tubuhnya yang kaku tidak bisa bergerak bebas karena terlalu kaget dengan apa yang baru saja didengarnya. Meninggal akibat operasi sumsum tulang belakang... Letak itu bukankah sama seperti Alsha? Berarti anak perempuan dalam foto itu memiliki penyakit yang sama dengannya.
"Kenapa Om memasang foto ini semua?" suara Alsha yang getir terbang kepermukaan.
Dokter Frans mengulas senyuman lemah, dia beranjak dari depan pintu mendekat ke arah Alsha. Tangannya menggenggam erat surat resmi berlogokan Rumah Sakit itu erat-erat. "Karena Om takut gagal lagi makanya Om memotivasikan diri supaya semakin baik lagi mengobati," jelas Dokter Frans menatap sendu wajah Rena di dalam foto, anak perempuan itu adalah satu-satunya pasien yang paling berkesan selama hidupya menjadi seorang Dokter. "Rena sosok yang periang dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Sayang, tubuhnya menolak untuk mempertahankannya. Dengan berat hati Om merelakan kepergiannya waktu itu."
Sosok Rena yang seperti itulah yang sangat melekat erat pada Alsha. Saat pertemuannya pertama kali dengan Alsha bayangan Rena mengelilingi pikiran Dokter Frans lagi. Rasa bersalah dari kegagalannya yang dulu sempat dia redam muncul lagi bersamaannya dengan proses penyembuhan Alsha. Dia berhasil menghela napas lega mengetahui Alsha bisa sembuh tapi kali ini Dokter Frans terpaksa menahan napasnya lagi.
"Kamu tahu apa yang membuat seorang Dokter gagal dikatakan sebagai penolong dan penyembuh bagi orang yang sakit?" tanya Dokter Frans memutar tubuhnya menatap Alsha. Dia tersenyum lemah saat gadis itu tak menjawab dan hanya memandangi foto Rena hampa. "Ketika pasien yang ditanganinya tidak bisa selamat. Dokter bukan lagi seorang penolong... Kamu tahu? Tanggung jawab Om sangat besar karena harus mempertahankan nyawa pasien. Beberapa ada yang berhasil dan bikin Om lega tapi ada juga yang bikin Om sedih karena tidak terselamatkan."
Tubuh Alsha bergerak kaku kearah Dokter Frans. Dilihatnya wajah pria paruh baya itu yang menampilkan kesedihan lalu matanya turun ke sebuah surat yang ada digenggaman Dokter Frans. Dia tidak sanggup mengetahui apa isinya tapi Alsha bersumpah dia penasaran setengah mati. Tanpa kesadaran penuh Alsha mengambil surat itu namun tenaga Dokter Frans yang besar berusaha menahannya agar tidak diambilnya.
"Om," peringat Alsha bergetar, hatinya makin tidak enak karena perlakuan Dokter Frans yang aneh, selang beberapa menit Dokter Frans menahannya akhirnya dia pun melepaskan dan membiarkan Alsha membacanya. Mata gadis itu membelalak tidak percaya. "Gak. Pasti ada kesalahan," kagetnya meremas kertas itu kejam, Alsha memandangi Dokter Frans dengan pancaran matanya yang takut. "Om, mana kertas yang asli?" dia menadahkan tangannya.
Dokter Frans menggelengkan kepalanya lemah, mata Alsha yang biru bercampur merah menahan tangisannya. Segelintir perasaan bersalah merayap kembali ke hati Dokter Frans, dia ikut merasakan sakit yang Alsha alami. Dia menarik lengan Alsha supaya mendekat lalu memeluk tubuh gadis itu yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
"Om janji Om gak akan gagal."
Ketenangan yang dijanjikan Dokter Frans sama sekali tidak menimbulkan efek berarti bagi Alsha. Dia menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Dokter Frans menangis sejadi-jadinya. Alsha pikir hidupnya akan jauh lebih baik lagi sekarang tapi ternyata dia salah besar. Kemana pun dia melangkah kesakitan itu takkan pernah mau meninggalkannya seorang diri.
Leukemia itu menyerang dirinya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Comeonlate
Teen FictionSiapa sangka dikejar-kejar oleh cewek cantik menggemaskan dari London bukanlah ketiban durian runtuh melainkan malapetaka bagi kehidupan seorang Davin. Semenjak kedatangan absurdnya Alsha ke Indonesia membuat Davin harus ekstra berhati-hati tiap kal...