Pesan Caramel.

38K 2.3K 67
                                    

Akhirnya Davin bisa kembali ke rumah. Dia merebahkan kepala ke atas bantal, merasakan kenyamanan yang tercipta ketika tubuh lemasnya menghantam keempukan kasur. Helaan napas jengah keluar dari bibirnya, selama seminggu Davin terpaksa harus menginap di Rumah Sakit karena luka dipergelangan tangannya belum kering total. Dia menyisingkan lengan baju panjangnya, memperhatikan lukanya yang masih diperbani.

Kepala Davin rasanya berputar cepat setiap kali bayangan itu kembali mengusik dirinya. Bayangan tentang traumanya dulu, trauma pasca-kecelakaan yang dialami Davin membuat psikisnya jadi terganggu. Kerap kali dia akan terbawa oleh masa lalunya dan berusaha melakukan berbagai cara agar rasa sakit yang menghantam dirinya segera menghilang. Luka di pergelangan tangan Davin bukanlah apa-apa jika diulas kembali kenangan lama.

Waktu perpisahan sekolah lalu, dia tergelincir ke jurang ketika sedang berjalan-jalan ke area kaki gunung. Davin yang saat itu tengah kelelahan dan banyak pikiran juga rasa cemasnya akan masuk ke hutan membuat trauma itu muncul lagi di saat yang tidak tepat. Anak kecil itu kembali berkeliaran di sekitarnya mengajak Davin bermain. Tapi karena pikirannya yang kalut Davin tidak bisa membedakan mana yang nyata dan asli. Dia mengikuti kemana anak itu pergi hingga terperosok ke jurang mengakibatkannya sebulan berada di Rumah Sakit karena mengalami patah tulang.

Masih banyak hal lain yang lebih parah dari sekadar goresan dalam di pergelangan tangannya. Percobaan melukai diri bukan hal pertama baginya, semenjak kecelakaan itu diri Davin sungguh berbeda dengannya. Davin tidak lupa ingatan tapi entah bagaimana caranya dia bisa kehilangan memori tentang anak kecil itu. Davin yakin anak itu ada dan nyata bukan hanya tinggal diimajinasinya saja.

“Vin, ada Alsha tuh di bawah. Mau ketemu kamu katanya.” Caramel menyandarkan bahunya ke kusen pintu kamar Davin yang tak tertutup.

Davin menurunkan pandangannya dari tangan lalu menghela napas kasar mendengar nama gadis itu di sebut. “Suruh pulang aja. Aku capek.”

Caramel tersenyum mengerti kalau anaknya itu masih enggan bertemu dengan Alsha. Dia tak mengerti apa yang membuat Davin jadi begitu sinis pada gadis sebaik dan seramah Alsha namun dia mendengar cerita Nathan dan Lollypop kalau Davin tidak menyukai cara Alsha yang terlalu berani menunjukkan rasa sukanya pada Davin.

Menurut Caramel cara Alsha mendekati Davin patut diacungi jempol. Davin yang tidak pernah peka dengan sekitarnya memang harus diusik kehidupannya supaya sadar. Kalau Alsha tidak bertingkah seperti itu maka Davin selamanya tidak akan pernah tahu ada orang yang sangat menyukainya hingga rela melakukan apapun deminya.

“Jangan sinis-sinis gitu ah, Alsha kan baik, cantik lagi.” rayu Ibunya lembut.

Davin memejamkan mata malas. “Malas berurusan sama dia.” bukannya malas, tapi hati Davin jadi tidak tenang semenjak kepergian Alsha beberapa hari lalu dari kamar inapnya. Apalagi sewaktu Alsha tidak menjenguknya selama tiga hari, otaknya penuh oleh tanda tanya akan kepergian gadis itu. Tak bisa Davin di pungkiri bahwa dia mengkhawatirkan Alsha.

Davin takut Alsha nekat melakukan hal-hal gila lainnya lagi demi dirinya mengingat betapa beraninya Alsha menerima tantangan Jenny seminggu yang lalu itu bikin Davin selalu kepikiran. Sebelum dia tertidur pun Davin selalu memikirkan bagaimana Alsha di sekolah selama dia tak ada? Semakin diganggu Jenny kah? Atau malah diganggu oleh lelaki-lelaki yang tertarik dengannya?

“Bang, kalau mau buka hati jangan tanggung-tanggung apalagi ditahan. Rasanya gak enak loh.” celetuk Caramel tersenyum geli melihat berbagai ekspresi bermunculan di wajah Davin. Dia mengenal Davin dengan sangat baik dan tentu dia mengerti apa arti dari ekspresinya itu. Davin mengusap wajahnya kasar tapi tidak mampu mengelak apapun, Caramel menegakkan tubuhnya lagi. “Ya udah kamu keluar sana. Sebentar aja temuin dia, kasihan. Jangan dibikin nunggu.” pesan Caramel sebelum lalu.

ComeonlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang