Belajar Bukan Hanya Persoalan Otak.

35K 2.2K 47
                                    

"Sin tiga puluh derajat itu satu per dua. Cos tiga puluh derajat itu satu per dua akar tiga. Tan tiga puluh derajat itu satu--"

"--Salah. Ulangin lagi."

Alsha memanyunkan bibirnya melihat Davin yang khusyuk memakan popmie di ayunan taman belakang rumah lelaki itu. "Dav, aku udah ngulang berkali-kali. Capek tahu!" kesalnya menghentakkan kaki.

"Kalau lo gak salah gue juga gak bakal nyuruh lo buat ngulang," ketus Davin menunjuk Alsha menggunakan garpu yang berlumuran bumbu mie itu. "Ulang sampai benar."

Bahu Alsha merosot lemah. Dia menggerakkan tangannya ke udara penuh emosi lalu mondar-mandir mengucapkan kalimat yang sama berulang kali dan Davin harus berulang kali juga mengingatkan Alsha bahwa dirinya salah. Davin sudah memberitahu gadis itu apa yang salah tapi ketika dia mengucapkannya malah tetap pada angka yang sama bikin Davin gregetan sendiri. Sama halnya dengan Alsha gadis itu sudah lapar setengah mati namun Davin seakan tidak pernah peduli dengannya itu malah makan mie di depannya, Alsha mendengus kasar dan memutar tangan kanannya yang memegang buku tulis itu ke samping hingga tanpa sengaja saat Davin ingin meneguk kuah mienya, buku Alsha menampar tangan Davin sampai popmie itu tersungkur ke tanah.

"Astaga!" pekik Alsha terkejut, dia segera berlari kecil menghampiri Davin. "Dav, maaf. Alsha gak sengaja." sesal Alsha menangkupkan kedua telapak tangannya itu ke depan dada. "Maafin Alsha, Dav. Alsha ceroboh. Maaf."

Davin memperhatikan Alsha yang bersungguh meminta maaf. Sebetulnya Davin ingin memarahi gadis itu tapi melihat betapa menyesalnya Alsha hati Davin jadi tidak tega, dia menghela napas berat lalu beranjak dari duduknya. Davin mengambil bekas popmie itu dan membiarkan isinya berhamburan keluar. Melihat gelagat Davin yang berniat meninggalkannya Alsha segera menahan tangan Davin erat takut lelaki itu akan marah besar padanya tapi Davin tidak mengucapkan ledakan apapun dia hanya memandang Alsha tajam dan menyuruh gadis itu melanjutkan hapalannya.

Bagi Davin yang terpenting saat ini adalah wajahnya tidak tersiram oleh kuah panas dari mie tersebut. Dia masuk ke dalam rumah meninggalkan Alsha yang terduduk lesu di ayunan. Gadis itu membuka bukunya lagi yang tertutup beruntung buku itu tidak terkena kuah mie jadi tulisannya jelas masih terlihat. Dia mulai menuruti kata Davin lagi untuk menghapal, kali ini sangat serius karena takut membuat Davin marah jika saat lelaki itu balik dia belum hapal juga.

Sepuluh menit Alsha menghapal perlahan angka-angka itu sudah mulai akrab dengan otaknya. Dia tersenyum semringah karena bisa menghapalnya kemudian keningnya berkerut saat mencium aroma bumbu pada mie yang begitu kental berada di sampingnya. Alsha menelengkan kepalanya ke kanan, sedikit terkejut mendapati satu popmie ada di dekat pipinya.

"Buat makan." jelas Davin menyodorkan popmie itu memaksa Alsha untuk mengambilnya.

Ragu-ragu Alsha mengambil makanan itu lalu tersenyum mengucapkan terima kasih pada Davin. Lelaki itu hanya mengangguk dan duduk di sebelah ayunan kayu samping Alsha. Dengan gemetaran Alsha merapatkan duduknya, dia mencuri pandangan kearah sampingnya tapi Davin tengah sibuk dengan ponsel. Dia ingin menanyakan Davin kenapa dia membuatkan popmie itu untuknya, Alsha kira Davin masuk ke dalam karena marah padanya tapi ternyata lelaki itu membuatkannya popmie.

Secercah harapan tumbuh dilubuk hati Alsha. Mungkinkah usahanya selama ini untuk membuat Davin menatapnya telah berhasil? Apakah perasaan singkatnya ini bisa membuat Davin meluluh dalam sekejap? Kalau iya, Alsha mohon sekali agar Tuhan menahannya untuk tidak terbang ke surga saat ini. Sebab Alsha sangat bahagia mengetahui perasaannya terbalaskan.

"Lo gak lapar?" tanya Davin akhirnya angkat suara.

Alsha mengerjakan matanya berkali-kali dia tersipu ditatap sedekat itu oleh Davin. "Lapar kok. Lapar banget malah!" seru gadis itu bersemangat lalu memakan mie terburu-buru, saking senangnya Alsha lupa kalau kuah itu masih panas, rasa terbakar menyelimuti lidahnya. Wajah Alsha yang putih merah padam menahan keperihan membakar lidahnya. "Aduh, panas!" keluh Alsha mengipaskan mulutnya itu dengan tangan.

Davin yang melihat sontak saja tertawa lepas. Menurut Davin wajah Alsha yang seperti itulah yang lucu karena terlihat sangat konyol dimatanya. Dan menurut Alsha tawa Davin bagaikan lantunan melodi yang indah dan otot di wajah Davin yang biasa mengeras terlihat merileks ketika tertawa seperti itu. Demi Tuhan, rasanya Alsha rela menyirami dirinya dengan air panas sekalipun demi melihat tawa itu tetap di sana selamanya.

Tersadar diperhatikan oleh Alsha lelaki itu berdeham keras berusaha mengontrol gelak tawanya. Dia menutupi mulut memakai telapak tangan kanannya kemudian membuang pandangan kearah lain. "Biasa aja kalau makan. Gue gak bakal minta kok."

Perkataan Davin yang masih terselip kegelian itulah yang justru membuat hati Alsha melambung tinggi. Dia menggulung mie beberapa kali lalu mengangkat tangannya mengarahkan ke mulut Davin. "Aaaaa~" kata Alsha bermaksud menyuapi Davin tapi lelaki itu mengelak mie pemberian Alsha, gadis itu tersenyum memaksa Davin membuka mulutnya. "Ayo dong dimakan. Satu aja deh sebagai pengganti popmie yang tadi Alsha tumpahin." rayu Alsha mengedip-ngedipkan matanya lucu.

Davin tersenyum geli. Dia tidak bisa menolak permintaan Alsha agar dirinya membuka mulut, Davin memiringkan tubuhnya mengarah ke Alsha lalu membuka mulut dan membiarkan gadis itu menyuapinya segulungan mie. Senyuman di wajah Alsha semakin melebar dia menurunkan popmienya lalu memberitahu pada Davin kalau dia sudah hapal sudut istimewa itu semuanya. Mendengar berita itu sontak Davin terbatuk, terselak oleh mie yang dikunyahnya.

"Sebetulnya lo gak perlu hapalin sudut istimewa itu karena yang lo butuhin di fisika materi ini cuma dua; sudut tiga puluh tujuh derajat dan lima puluh tiga derajat." jelas Davin menjilat bibir bawahnya yang terdapat bumbu mie.

Alsha melongok tidak percaya. Dia memukul lengan Davin pelan sebagai tanda protesnya. "Ih, kok Davin jahat sih? Terus apa maksudnya nyuruh Alsha hapalin sudut-sudut yang gak ada istimewanya sama sekali menurutku itu?" cecar Alsha menaikkan dagunya.

Davin mengedikkan bahunya cuek. "Biar kedepannya lo gak kesulitan. Sudut istimewa bakal diperluin lagi buat semester dua."

Alsha menganggukkan kepalanya paham lalu dia memutuskan untuk memakan popmienya itu hingga tandas. Selama proses penghabisannya Alsha membujuk Davin untuk ikut makan bersamanya dan lelaki itu tanpa penolakkan apapun lagi dengan senang hati menerima suapan Alsha. Mata Davin yang tajam memperhatikan gerak-gerik Alsha yang bersemangat memberinya suapan, tiap kali mata mereka bertemu hati Davin berdesir hangat. Dia teringat kata-kata Psikiaternya dan Fanny; Bahwa membuka hati untuk menyukai seseorang tidak ada salahnya, justru jatuh cinta akan terasa indah jika kita menjatuhkannya pada orang yang tepat. Orang yang mencintai kita misalnya. Dan dari tatapan berbinar Alsha itulah Davin paham kalau pilihannya untuk terlepas dari trauma tidak akan pernah salah.

ComeonlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang