Suara pendeteksi jantung terdengar nyaring mengisi kesepian yang melanda ruangan serba putih itu. Seorang lelaki tergolek lemah di ranjang dengan perban di tangan terlihat jelas, selang-selang besar pun menempel di dadanya yang terbuka. Mulutnya yang biru dimasukkan sebuah alat besar berbentuk panjang, selang itu menyambung langsung pada oksigen. Sosoknya tampak lemah tak berdaya itulah yang membuat hati Lea teriris melihatnya. Dia menempelkan telapak tangannya di dinding yang berlapiskan kaca tebal.
"Nat, lebih baik Davin dikasih tahu semuanya. Aku gak tega lihat dia terus kayak gini."
Nathan menunduk dalam. Penampilannya luar biasa kacau, dia memandangi telapak tangan kanannya yang di perban. Akibat menolong Davin dia menahan cutter itu agar tak melukai tubuh Adiknya menggunakan tangannya sendiri. Pakaiannya pun masih yang semalam karena dia tidak sanggup berpindah selain di sini menunggu Davin tersadar dari masa kritisnya.
"Gak segampang itu buat ngasih tahu dia semuanya," suara Nathan yang lemah terdengar hampa di telinga orang-orang yang ada di sini. "Jiwa Davin masih belum stabil. Psikisnya juga belum ada kemajuan apapun. Hilangin trauma gak segampang ngobatin luka di tangan." papar Nathan menutup telapak tangannya yang terluka erat.
Raya mengelus rambut Lollypop yang kusut. Dia mengerti kalau perasaan sahabatnya saat ini sedang sangat kacau. "Paling enggak kita bisa pelan-pelan kan, Kak?" tanyanya memastikan.
Nathan menyandarkan punggungnya ke badan kursi. Penat kepalanya semakin menjadi. "Udah gue bilang gak segampang itu," tegasnya memijit pelipisnya yang pusing. "Kalau pun mau pelan-pelan bukan dari kita tapi dari diri Davin dulu niat atau enggak buat hilangin traumanya. Kalau kita udah berusaha bikin dia sembuh tapi dianya masih bertahan ya gak akan bisa."
Semua mata tertuju pada Nathan. Lelaki itu memejamkan mata erat-erat. Hatinya berdesir perih mengingat percakapan orang tuanya bersama orang lain lewat telepon beberapa tahun lalu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Davin. Nathan tidak akan melupakannya meskipun usianya waktu itu baru dua belas tahun.
"Kalau gitu apa gak ada cara lain buat bikin Davin sembuh?" gumam Keenan pelan dia memandangi Davin melalui kaca pemisah, sekelebat wajah berseri Davin sewaktu kecil dulu tergambar jelas di wajahnya. Dia dan Davin adalah sahabat baik sejak TK apapun yang Davin alami jelas Keenan akan tahu meskipun orang lain atau Davin sendiri akan menyangkal. Batin seorang sahabat tidak akan pernah salah. "Misalnya dengan cara membuat Davin lupa akan rasa sakit yang selama ini dideritanya."
Nathan membuka matanya lebar-lebar, dia mengarahkan matanya yang memerah itu menatap Keenan. "Maksud lo gimana?" tanya Nathan tidak mengerti.
Keenan menghela napas panjang. Dia tahu pikirannya saat ini mungkin akan terdengar sangat picik tapi dia tidak akan tega membiarkan Davin terus-menerus mengalami luka karena kesakitan di masa lampaunya. Dia ingin sahabatnya itu kembali tersenyum dan hidup sebagaimana mestinya. Bukan seperti sekarang yang lebih mirip seperti robot.
"Kenapa gak kita coba biarin Alsha dekatin Davin? Gak ada salahnya manfaatin Alsha buat bikin Davin jadi lupa sama traumanya kan?"
Selama ini Davin selalu mengalami delusi karena kehampaan dan kekosongan hatinya menjalani hari. Keseharian Davin hanya berkisar pada belajar dan musik. Namun akhir-akhir ini Keenan merasa sahabatnya itu terlihat lebih manusiawi karena adanya Alsha. Mungkin memang tidak ada salahnya membiarkan gadis itu masuk ke dalam ke kehidupan Davin yang kelam. Siapa tahu hati yang tulus dapat mengobati hati yang terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Comeonlate
Teen FictionSiapa sangka dikejar-kejar oleh cewek cantik menggemaskan dari London bukanlah ketiban durian runtuh melainkan malapetaka bagi kehidupan seorang Davin. Semenjak kedatangan absurdnya Alsha ke Indonesia membuat Davin harus ekstra berhati-hati tiap kal...