Berikan Manisan Dari Pahitnya Kehidupan.

14.1K 1.5K 13
                                    

Entah untuk keberapa kalinya Alsha bersyukur sekali atas kejadian hari ini hingga akhirnya dia bisa sedekat ini dengan Davin. Ditatapnya wajah Davin yang tenang seraya menyantap soto ayamnya yang mengepulkan asap panas. Wajah Davin seperti itulah yang menyita seluruh perhatian Alsha sampai soto di depannya pun terlupakan. Tubuhnya yang semula lemas jadi bertenaga lagi karena bertemu dengan Davin.

“Kalau gak lapar gak usah sok-sokan masang muka ngemis.” celetuk Davin retorik menyeruput kuah soto ayam itu perlahan.

Alsha mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan dia menahan senyuman malu karena kepergok memperhatikan Davin sedari tadi. Dia pun mengalihkan pandangannya ke soto ayam, mengambil sendok dan mulai menyantapnya pelan-pelan. Rasa gurih dan hangat langsung menyengat kerongkongannya. Tubuh Alsha yang dingin jadi sedikit menghangat setelah beberapa kali memakannya.

Dia tersenyum-senyum sendiri menebak-nebak mengapa Davin mengajaknya makan di tempat ini. Apakah karena cuacanya hujan jadi Davin mengajaknya makan di tempat yang hangat atau karena memang di sini tempat yang enak untuk menyantap soto? Entahlah Alsha tidak tahu yang dia tahu Davin di hadapannya itu adalah sosok yang baik hati jika didekati cara seperti ini.

Tangan Davin yang sibuk menyuapkan soto ke dalam mulutnya harus terhenti saat ponselnya yang sudah dikembalikan oleh Alsha berdering. Dia mengernyit mengetahui nama sahabatnyalah yang muncul sebagai penelfon, tanpa meminta izin dari Alsha dia beranjak dari kursi berjalan ke arah pojok ruangan yang terlihat sepi dan jauh dari keramaian. Mata Alsha mengikuti kemana lelaki itu pergi, dia menyadari satu hal lagi kalau Davin tipikal orang yang tidak suka diganggu kehidupan pribadinya.

“Hallo, Pane. Kenapa?” sambut Davin begitu menerima panggilan telfon dari Fanny, sahabatnya di London.

Suara Fanny yang khas terdengar menyenangkan di telinga Davin tapi tidak untuk isi perkataannya. “Kata Tante Caramel kamu lagi kepikiran sama orang mulu. Kenalin ke aku dong siapa orangnya.”

Davin mendengus keki. “Gak. Kamu salah dapat info kali.”

Ih, enak aja! Aku tuh tahu langsung dari Mamah kamu kok, Vin. Ayolah kasih tahu aku siapa sih ceweknya?”

Bukannya menjawab Davin malah tertawa mendengar betapa antusiasnya Fanny berbicara, dapat dibayangkan sahabat baiknya sedari kecil yang terpaksa pindah ke London itu saat ini sedang memasang wajah liciknya untuk mengorek informasi darinya.

“Ngaco kamu tuh. Aku lagi gak kepikiran sama siapa-siapa kecuali sama dia, iya, aku pikirkan terus.” tuturnya menekankan kata dia.

Diujung telfon Fanny hanya bisa menghela napasnya jengah. Ingatannya berputar pada beberapa tahun silam. Ketika dia dan Davin masih kecil. Masih bersahabat di Indonesia, masih kemana-mana saja bersama. Senyum kecil terlukis di wajahnya.

Dia ingat bagaimana dulu Davin membentak anak lelaki yang berani merampas makanan punyanya sewaktu TK. Lelaki itu bahkan selalu siap memasang badannya untuk melindungi Fanny. Bukan hanya Fanny.  Ada seorang anak perempuan dulu yang juga dilindungi Davin. Anak perempuan cantik yang selalu mewarnai hari-hari gelap Davin dengan senyum merekah juga matanya yang bersorot kebahagiaan.

Dulu, Davin bukanlah sesosok anak lelaki dengan wajah dingin. Sikap yang jutek dan terlampau cuek. Dulu, Davin hanyalah anak lelaki kecil yang hobi main bola atau layang-layangan namun masih bisa menjaga orang-orang terdekatnya. Dulu, Davin selalu tersenyum dan tertawa dalam keadaan apapun. Menghangatkan semua orang di sekitarnya.

Tapi, itu dulu sebelum kejadian paling tak mengenakan itu terjadi. Peristiwa dimana Davin harus menelan pil pahit akan kehilangan gadis kecil manisnya itu dan terus percaya pada perkataan orang dewasa untuk menghentikan rasa sakitnya kala itu. Kalau gadis itu akan datang bila Davin tidak menantinya.

Davin, kamu ngapain di sini?” tanya Caramel khawatir melihat anak lelakinya berdiri diambang pintu rumah sambil memeluk sebuah mobil-mobilan.

Davin kecil menatap Ibunya dengan sorot kekosongan, kepalanya terbeban sehabis kecelakaan membuat memorinya terhapus dan sedikit lamban untuk menjawab tapi dia mengerti apa yang dimaksud Ibunya saat itu. “Kok dia gak pernah datang, Mah? Kata Mamah dia datang kalau Davin sudah ada di rumah. Apa dia gak mau datang karena Davin hanya mengingatnya samar?”

Dia akan datang... Nanti, nak. Bukan sekarang. Saat ini waktunya Davin untuk sembuh dulu dia akan datang lagi ke sini kalau Davin enggak menunggunya dalam keadaan sakit.”

Pada saat itu usia Davin masih sepuluh tahun. Anak lelaki polos yang tidak mengerti apapun tentang rasa kehilangan dan penyesalan. Yang Davin tahu pada tujuh tahun silam hanyalah ingatan samarnya tentang seorang anak perempuan dengan rambutnya yang tergerai itu. Setiap malam dia tertidur Davin selalu memimpikannya dan berujung dengan dirinya menyakiti tubuhnya sendiri.

Namun lima tahun belakangan ini dia sudah berhasil menguasai emosinya supaya tidak terikut oleh masa lalunya yang samar tanpa kejelasan. Hanya saja untuk membuka hati menerima yang baru dia belum begitu siap ada rasa takut dihatinya dia akan ditinggalkan seperti dulu waktu usianya masih sepuluh tahun.

Vin, aku tahu kamu masih mengharapkannya. Tapi bisakah kamu berpikir realistis sekarang? Tujuh tahun kamu hidup apa kamu gak capek menggantung harapan sama orang yang gak jelas apa dia masih hidup atau sudah terkubur di bawah tanah? Vin, aku gak maksud bikin kamu jadi tertekan tapi aku mau kamu melepaskannya. Bagaimapun juga kamu punya kehidupan, Vin. Bergeraklah mencari pemanis dihidupmu yang pahit.”

Ketika Fanny mengucapkannya kepala Davin dengan sendirinya bergerak ke belakang, dia memandang Alsha yang tengah menyantap makanannya itu bersemangat sambil sesekali menyeruput minumannya. Matanya yang meneduhkan jadi tempat favorit bagi Davin memandangi wajahnya. Samar-samar kehangatan itu masuk melalui celah-celah terkecil di kulitnya yang dilapisi baju berlengan panjang warna hitam. Ada perasaan aneh yang menyusup lagi setiap kali matanya menatap wajah Alsha.

“Yang manis udah ada,” kata Davin memberi jeda sebentar untuk meredamkan jantungnya berdegup. “Tapi aku gak yakin dia bisa hilangin pahitnya obat yang selama ini aku minum.” terang Davin murung.

Saat matanya masih asik melihat Alsha, gadis itu menengadah merasa diperhatikan oleh seseorang ketika tahu yang memperhatikannya adalah Davin sontak saja senyuman Alsha langsung merekah sempurna. Dia melambaikan tangannya semangat pada Davin tidak peduli walaupun pengunjung kedai soto ayam itu menontonnya sejak tadi hanya karena warna rambutnya yang beda.

Sudut bibir Davin terangkat kecil, dia memutar kepalanya mengarah ke jalanan yang basah oleh rintikan hujan. Fanny masih tidak mengeluarkan suaranya dan itu membuat Davin menghela napasnya panjang. “Atau aku takut, kehidupannya yang manis berubah pahit kalau aku masuk ke kehidupannya.” tutup Davin menyudahi sambungan telfonnya dengan Fanny.

ComeonlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang