Davin terduduk santai di ruangan serba putih itu, matanya yang tajam meliar pada lukisan bercorak pemandangan di pedesaan. Kakinya diketukkan beberapa kali di atas lantai menciptakan irama sebuah lagu yang sedang dia dengar melalui headset. Kepalanya sesekali bergoyang ke kanan dan kiri menyelaraskan irama lagu yang nyentrik, menerbangkan rambutnya yang dipotong side part rapi jadi berantakan.
Dua orang wanita beda usia memakai jas putih panjang khas Rumah Sakit masuk ke dalam ruangan itu seraya membawa setumpuk dokumen. Mereka tersenyum melihat adanya Davin di ruangan itu yang sedang memandangi lukisan sambil kakinya berketuk-ketuk.
“Davin.” panggil Caramel menyentuh lengan Davin lembut.
Sontak lelaki itu mencopot salah satu penyumpal di telinganya, dia mengulas senyuman tipis mencium punggung Ibunya. Di depan Davin berdiri seorang Psikiater muda dia memperhatikan raut wajah Davin yang dingin tidak adanya perubahan berarti.
Maya tersenyum ramah pada Davin dia meletakkan dokumen itu di atas meja kerja ruangan Caramel. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya mengintip Davin dari bahu, lelaki itu diam tidak menjawab gestur tubuhnya yang santai tidak memberikan tanda-tanda adanya kemajuan dari psikis lelaki itu. “Belum bisa buka hati buat yang baru? Apa kamu merasa kesulitan atau kamu masih tidak ingin melepasnya?” tembak Maya langsung.Davin memutar-mutar kabel headset, dia membiarkan Caramel mengambil duduk di sampingnya mengelus lengan Davin yang terbalutkan hoodie hitam. Dia menyukai warna-warna gelap karena baginya warna seperti itulah yang dapat menenangkan jiwanya. Warna gelap tidak terlalu mencolok jika dipandang banyak orang dan tak begitu memusingkan mata saat melihatnya lebih lama. Warna gelap akan terasa dingin dan menimbulkan kesan misterius, Davin menyukai warna yang seperti itu karena memiliki kesamaan dengan dirinya.
Kedua tangan Maya tersilang di depan dada. Selama lima tahun belakangan ini dia menjadi Psikiater Davin tentu membuatnya jadi beigtu hapal akan sosok Davin yang dingin. Bagaimana ketika lelaki itu sedang marah atau bersedih hati, Maya akan tahu dari gerak-geriknya. Tapi kini Maya tidak mengerti mengapa Davin bungkam saja saat ditanya biasanya lelaki itu akan berbicara jika dia sudah menyinggung masa lalunya itu.
Tangan Davin masih memutar kabel tak tentu arah, matanya menerawang lurus menuju tembok sementara kakinya tak bisa diam berketuk. Lantas perubahan bahasa tubuh Davin memberikan kerutan halus itu muncul di kening Maya. Ini pertama kalinya Davin terlihat seperti manusia yang sedang berusaha mengenyahkan sesuatu di dalam pikiran maupun hatinya. Meskipun Davin sering mengusir kenangan buruk itu dari hati dan pikiran inilah kali pertama Davin bertingkah manusiawi.
Maya berdeham menarik perhatian Davin dan Caramel untuk menatapnya. “Mau ceritakan sedikit sama saya apa yang sedang kamu pikirkan?” bujuk Maya pelan-pelan.
Davin diam sebentar menimbang apakah bisa dia menceritakan pada Maya apa yang saat ini ada dipikirannya. Kalau dia menceritakannya akankah terasa aneh atau malah bagus untuk perkembangan psikisnya? Davin mendesah berat memutuskan untuk diam kembali.
Maya mengerti Davin tengah bimbang. “Kamu ingatkan sama kata-kata saya?” kali ini Maya maju selangkah, dia merunduk untuk menatap mata Davin yang kosong. “Setiap kali kamu banyak pikiran ada baiknya untuk bercerita dengan seseorang yang kamu percaya.”
Pada akhirnya Davin menurut untuk menceritakan apa yang ada diisi kepalanya, dia berdeham beberapa kali membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Ada anak baru, perempuan,” cerita Davin ragu-ragu, dia menaikkan sebelah alis melihat respon Caramel dan Maya yang saling melempar lirikkan mata. “Dia kelihatan tertarik sama aku.” Davin bungkam sampai di situ.
Maya mengernyit menunggu kelanjutan pembicaraan Davin tapi lelaki itu malah diam membuang pandangannya kearah lain. Dia menyembunyikan senyum gelinya mengetahui kalau Davin secara perlahan mulai membuka hatinya untuk orang baru. Selama ini jangan dikira Maya tidak tahu apapun. Dia tahu Davin dikejar-kejar banyak sekali perempuan, selama itu pula Davin tampak cuek saja lalu kalau saat ini Davin malah menceritakan dan memikirkannya bukankah lelaki itu benar-benar mau mencoba membuka hatinya sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Comeonlate
Teen FictionSiapa sangka dikejar-kejar oleh cewek cantik menggemaskan dari London bukanlah ketiban durian runtuh melainkan malapetaka bagi kehidupan seorang Davin. Semenjak kedatangan absurdnya Alsha ke Indonesia membuat Davin harus ekstra berhati-hati tiap kal...