Pernyataan Secepat Angin.

49.4K 3.5K 43
                                    

Lea: Aku gak bisa pulang bareng nih. Ada urusan mendadak banget dari OSIS.

Helaan napas lelah terdengar dari bibir Alsha. Gadis itu menaruh ponselnya di saku seragam setelah membalas pesan Lea, dia berjalan sendirian di koridor yang sudah sepi dan lenggang. Rata-rata yang tersisa hanyalah anak-anak ekskul saja. Dia menendang kaleng yang ada di depan kakinya pelan, tahu kalau Lea ada urusan sejak tadi saja dia pulang bersama Raya dan Lollypop kalau sudah begini dia terlanjur harus naik taksi ke Rumah Sakit.
Dia berbelok ke luar dari gedung sekolah melangkah gontai ke arah gerbang yang terbuka lebar.

Rasa sakit itu kini sudah berhenti tapi kepala Alsha jadi berat sehinggga selama pelajaran berlangsung tadi Alsha lebih banyak diam daripada berbicara seperti biasanya. Perasaan khawatir akan kondisinya tidak bisa Alsha elakkan lagi, bagaimanapun juga dia pernah merasakan hal ini sebelumnya. Perasaan yang membuat hidupnya tidak tenang karena terbayang-bayang ketakutan serta ketidakadanya harapan untuk terus melanjutkan hidup.

Kepala Alsha terangkat, menoleh ke sampingnya memandangi pepohonan hijau yang tumbuhi diantara motor-motor yang terparkir rapi.

Matanya yang biru menangkap sesosok lelaki berjalan ringan ke motor besar warna hitamnya, dengan postur tinggi tegapnya dia bisa langsung tahu kalau itu adalah Davin. Sekelebat pikiran buruk yang bersarang diotaknya pun berganti jadi aliran sungai yang jernih dapat menenangkan jiwa. Bertemu dengan Davin seakan membawanya ke dalam gula-gula besar yang manis.

Langkah Alsha bergerak mendekat padanya. Dia tersenyum semringah melupakan fakta bahwa dirinya sedang dilanda kecemasan dan ketakutan akan sakitnya yang berpotensi kembali lagi. Saat Davin menaiki motornya, lelaki itu sibuk mengambil helm yang tersampir di kaca spion. Kesempatan seperti itulah yang digunakan Alsha untuknya naik ke atas jok motor Davin.

Tubuh Davin tersentak kaget ketika dirasakannya sebuah tangan mungil megangi lengannya erat lalu beban yang ada di atas motornya jadi bertambah. Helm Davin jatuh ke tanah, dia berjengit kaget menggoyangkan lengannya supaya tangan mungil itu mau terlepas segera dia melotot pada Alsha yang baru saja selesai naik ke atas motornya dengan susah payah.

“Huh, motor kamu besar banget sih! Tinggi lagi. Naiknya ribet nih.” keluh Alsha menunjuk rok abu-abunya yang terlipi sedengkul karena kesusahannya naik ke atas motor.

Kelakuan Alsha menyentil emosi Davin untuk bangkit. Dia menggenggam erat stang motor, menatap sinis Alsha. “Turun,” geramnya tertahan, bukannya turun Alsha malah menyengir lebar memajukan duduknya kemudian tangannya terulur untuk masuk ke dalam saku hoodie hitamnya sontak saja Davin tersentak. “Apa-apaan sih?!” kesalnya menjauhkan tangan Alsha dari jangkauan tubuhnya.

Alsha tersenyum sambil mengedip-ngedipkan matanya lucu. “Aku ikut kamu dong,” pintanya memelas menangkupkan kedua tangan ke depan dada. “Hitung-hitung ucapan terima kasih kamu karena tadi sudah aku bantu bawain buku.” katanya mencari alasan.

Davin mendengus marah dengan kesal Davin memutuskan untuk turun dari mototnya lalu mencabut kunci motor yang tersangkut di lubang kunci. Alsha kira Davin akan pergi meninggalkannya tapi tak disangka lelaki itu mengambil helm dan memegangi tubuh motornya seraya dimiring-miringkan.

“Davin!” jerit Alsha berpegangan erat samping jok motor.

Lelaki itu memandangi wajah panik Alsha dengan dingin. Dia menggoyangkannya kencang hingga membuat jantung Alsha berdegup kencang saking takutnya dia terjatuh. Kaki Alsha bergoyang mengikuti motor Davin, dia menjerit-jerit memohon pada Davin untuk berhenti.

Davin tersenyum culas. “Turun atau gue banting nih motor biar lo jatuh?” ancamannya tidak main-main, Davin memiringkan motornya semakin menjorok ke tanah Alsha menjerit tertahan.

“Iya! Iya aku turun!” serunya memegang pergelangan tangan Davin erat. “Tapi betulin dulu motornya! Aku gak bisa turun kalau begini.” dengus Alsha jengkel.

Davin membetulkan letak motornya seperti semula hatinya sedikit tergelitik melihat wajah pucat serta paniknya Alsha kalau gadis itu sampai terjatuh. Padahal standar motor masih tertempel di tanah, dia juga tidak mungkin melakukan hal tersebut membanting motornya hanya karena Alsha. Bisa diomeli Davin habis-habisan oleh Ayahnya apabila hal itu sampai terjadi.

Bersungut-sungut Alsha turun dari motor Davin. Hatinya begitu berat menginjakkan kaki di tanah lagi membiarkan Davin naik lagi ke atas motornya dan menggunakan helmnya santai. Di samping motor Davin, Alsha memasang wajah tertekuk bete berharap dengan begitu Davin bisa berbaik hati menawarkan pulang bersama tapi ketika mesin motornya sudah menyala dan siap melesat, Davin hanya melemparkan tatapan sinis dari balik helm full face sebelum akhirnya dia menggas motor keluar dari pekarangan sekolah.

•••••

“Mau kemana, Neng?”

“Rumah Sakit dekat sekolah sini Bapak tahu?”

“Oh, Rumah Sakit Matahari ya, Neng? Yang yayasannya sama kayak sekolahan Eneng kan?”

Alsha mengangguk mengiyakan pertanyaan sopir taksir itu, setelah berbincang-bincang lagi sebentar mobil melaju ke arah kanan menuju Rumah Sakit tempat Dokter Frans bekerja. Dia memundurkan tubuhnya mengenai jok mobil, bersandar selama perjalanannya ke Rumah Sakit. Memandangi jalanan yang sudah dipadati oleh banyaknya kendaraan yang berlalu lalang Alsha tersenyum mengingat wajah Davin.

Wajahnya yang keras dan tegas terlihat menarik di mata Alsha. Davin jarang bicara tapi sekalinya mengeluarkan suara dia sanggup menerbangkan Alsha hingga ke atas awan. Tawa Alsha berderai pelan, deringan pada ponselnya mengagetkan Alsha yang tengah tertawa dia mengambil ponselnya dan melihat nama Fanny tertera di layar.

Miss my piece of heart!” seru Fanny bersemangat di seberang telfon.

Alsha terkekeh merapikan rambutnya yang berantakan keluar dari ikatan. “Miss you too. Kabarmu gimana, Fan?”

Ya sejauh ini baik. Kamu gimana? Oke gak di Jakarta?”

Alsha tersenyum lembut menatap jalan raya yang penuh. Dia menghela napas panjang menceritakan segala perasaannya selama dua hari di Jakarta. Pengalamannya pertama kali menginjak panas dan padatnya kota Jakarta, pengalamannya yang diajak ke sana kemari bersama Lollypop dan Raya di sekitaran Jakarta Pusat itu. Di hari pertamanya Alsha bercerita kalau dia berteman baik dengan dua gadis yang memiliki kepribadian berbeda tapi bisa bersahabat baik dari dulu lalu menceritakan perbedaan apa saja yang dialaminya selama di Jakarta, membandingkannya dengan London.

Hingga menit berikutnya Fanny berdeham menginterupsi pembicaraan Alsha, dia tersenyum-senyum di seberang telfon andai saja dia berhadapan langsung dengan Alsha sudah dipastikan tangannya akan mencolek dagu Alsha gemas. “Nah, ada cowok keren gak di sana yang bikin kamu lupa sama London?” tanya Fanny usil.

Tawa Alsha berderai lagi kali ini diiringi dengan semburat merah dipipi saat bayangan wajah Davinlah yang muncul dibenaknya. Tangan Alsha merogoh saku samping tasnya yang berfungsi menaruh botol minuman itu. Sekotak panjang benda berwarna hitam legam dia keluarkan, sudut bibir Alsha berkedut membentuk senyuman tipis. Jemari Alsha memencet tombol di atasnya menyalakan benda itu yang menggelap. Saat layarnya sudah menyala, sebuah foto berlatarkan hitam legam dengan editan nama Davin dijadikan sebagai wallpaper lock screen lelaki itu.

Meskipun tadi Davin menolaknya pulang bareng Alsha tidak akan pernah menyerah untuk mendekatinya. Dia mengambil ponsel Davin sewaktu tangannya terulur masuk ke dalam hoodie lelaki itu. Dia melakukannya bukan karena ingin memeluk Davin melainkan ingin mengambil ponsel lelaki itu supaya saat pulang nanti dia punya alasan mengapa Davin menjemputnya.

“Fan,” panggil Alsha pelan seraya mengelus ponsel Davin perlahan. “Kalau aku suka sama cowok... Terlalu cepat gak sih?”

ComeonlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang