Twenty

1K 98 13
                                    

Gue emang gak ngerti jalan pikiran lo, semudah ini kah lo menentukan keputusan yang belum tentu menjadi keputusam yang terbaik?

****

"Nadya."

Senyuman di bibir Revan kian mengembang. Revan tidak menyangka Nadya akan pulang ke Indonesia setelah sekian lama di Jerman bersama Ayahnya. Revan benar-benar senang. Impiannya untuk Nadya pulang ke Indonesia bisa terkabulkan.

Nadya tersenyum ke arah Revan.

Revan melepaskan tas ranselnya begitu saja dan terbiarkan jatuh ke lantai. Pikirannya hanya tertuju pada satu arah, yaitu Nadya. Ia langsung menghampiri Nadya dan memeluknya.

"Nadya, lo kemana aja selama ini? Kenapa lo ninggalin gue lama banget? Gue kangen sama lo! Lo masih inget gue ternyata. Gue kangen berat sama lo,nad." Revan memeluk Nadya erat-erat. Nadya membalas pelukkan Revan dengan senyuman yang mengembang.

Tubuh Nadya yang sama seperti Aletha, mungil, berambut panjang, dan tingginya sebahu dari tubuh Revan.

"Gue kangen lo,nad. Kangen banget!"

"Gue juga kengen sama lo,van. Dan gak kerasa lo udah dewasa aja." Ucap Nadya. Revan melepaskan pelukkannya.

"Gue enggak dewasa kok, nad. Masih kayak dulu. Cuma tingkah gue aja yang semakin lama, semakin memburuk."

"Gue tau, semenjak kematian mama lo, lo jadi frustasi dan jadi anak berandalan. Gue ngerti,van. Tapi gue yakin lo bisa berubah."

Revan menggeleng. Nadya memang seseorang yang selalu menyemangati Revan, dari dulu hingga sekarang. Revan merasa sosok Nadya bagaikan pengganti sosok Rosita, ibu kandung Revan.
"Gue gak akan pernah berubah, nad. Tingkah laku gue emang udah parah banget. Orang selalu mandang gue sebelah mata, mungkin mereka emang gak tau penyebab gue berandalan kayak gini."

"Lo bisa kok, van. Cuma belum saatnya aja. Gue yakin, suatu saat lo bakalan bisa berubah jadi Revan yang baik. Semua orang bakalan berubah seiring berjalannya waktu."

Kata-kata itu persis sekali apa yang pernah Aletha katakan kepada Revan. Revan tersenyum kecil. Ternyata Nadya juga tidak banyak berubah. Masih seperti dulu. Nadya yang selalu care kepada Revan.

"Bisa aja lo."

Sesekali Nadya melirik tangan kiri Revan yang terbalut kain putih berbecak cairan merah. "Tangan lo kenapa?." Nadya meraih telapak tangan kiri Revan. "Berdarah? Lo habis tauran?." Nadya menatap tidak percaya. Apa yang baru Revan lakukan?

Revan menggeleng. "Engga, ini gue berdarah gara-gara kena pisau pas nolongin pacar gue." Jelas Revan.

Nadya menyipitkan matanya. "Ohh jadi lo udah punya pacar ya? Pantes mukanya kayak berseri-seri gitu." Sindir Nadya sambil tersenyum. Bukannya Nadya cemburu mendengar sahabatnya mempunyai pacar, justru Nadya malah senang jika Revan mempunyai pacar. Setidaknya dia bisa melupakan kenangan Revan ketika masih bersama Nadya.
"Berarti lo udah move on dari gue dong."

Gue belum bisa move on dari lo, nad. Gue tersenyum bukan berarti gue udah punya pacar. Gue seneng lo kembali dalam hidup gue. -batin Revan.

Senyuman di bibir Revan langsung memudar. "Gue pacaran sama yang lain bukan berarti gue udah move on sama lo" ucapnya. "Gue masih ada rasa sama lo, nad."

Nadya langsung terteguh memahami setiap kata yang Revan keluarkan. Nadya tidak menyangka kalau Revan masih belum melupakannya.
"Rasa apa lagi, van? Gue rasa mendingan lo cari orang yang bisa jadi pengganti gue." Kata Nadya. "Gue ke Indonesia itu cuma buat liat keadaan lo, selebihnya gak ada."

Boy Bestfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang