Thirty Seven

698 41 0
                                    

Sesungguhnya perasaan bersalah, akan menghantui sebuah pikiran.

***

Jujur saja, Aletha merasa bersalah meninggalkan Revan seperti ini. Aletha tidak mengabari apa pun kepada Revan, membuat Aletha khawatir dengan keadaan Revan saat ini.

Sedang apa Revan sekarang?
Apakah Revan tidak rindu dengannya?

Aletha juga merindukan pesan whatsapp dari Revan yang setiap saat selalu muncul di layar ponselnya. Revan bukan lah Revan yang dulu lagi bagi Aletha. Sikap pertentangan antara Aletha dan Revan pada hari itu membuat Aletha tahu, bahwa Revan banyak berubah dari sikapnya.

Revan seakan berubah menjadi Revan yang bersifat posesif. Aletha tidak menyukai sifat itu.

Akankah hubungan Aletha dan Revan sebentar lagi akan hancur kembali?

Aletha tidak mau itu terjadi lagi pada dirinya.

Aletha menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur.
"Mah, kita disini berapa hari lagi?"

Tania mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan dari anaknya, tidak biasanya Aletha menanyakan hal seperti itu.

"Tumben nanyain kapan pulang? Emangnya kenapa?"

"Hmm papah kapan beliin Aletha ponsel baru?"

"Besok mungkin." Ucap Tania sambil menyalakan kompor gas.

"Besok? Serius mah?" Aletha langsung meraih telapak tangan Tania. "Makasih mah."

Aletha tidak sabar menunggu besok. Berharap dengan cara ayahnya membelikan ponsel baru, Aletha bisa menghubungi Revan dan memberi kabar kepadanya.

***

Revan kembali memasuki rumah sakit sambil membawa plastik yang berisikan makanan untuk sarapan pagi bersama Nadya.

Revan menaiki anak tangga rumah sakit, dan segera mencari kamar rawat ayah dan ibu barunya.

Spontan, plastik itu jatuh dari genggaman Revan. Revan menjatuhkan plastik itu begitu saja. Revan menatap tak percaya ke arah ruangan ayah dan ibu barunya di rawat.

Ruangan itu di penuhi orang-orang yang berdiri di depan ruangan itu. Ada  orang yang sedang menangis, ada juga yang mencoba menenangkan orang yang sedang menangis itu.

Revan menghampiri Nadya yang sedang menangis, serta Bi Ijah yang ada di samping Nadya. Revan tersontak kaget ketika melihat Fathur, Wildan, Aldo, Leon, serta Bella dan Anggun, yang sedang menatap sendu ke arah Revan, juga ke dalam arah ruangan.

Revan benar-benar bingung, kenapa mereka terlihat begitu sedih? Apa yang sebenarnya terjadi?

"Van... lo harus sabar ya.." Nadya mencoba menatap Revan yang terlihat bingung.

"Emang ada apa nad?"

Nadya berdiri menyetarai Revan yang ada di hadapannya. "Nyawa bokap sama nyokap lo... udah gak bisa diselamatin."

Sedih, hancur, dan sesak, itu adalah rasa yang dirasakan Revan ketika mendengar kalimat singkat dari mulut Nadya. 'Udah gak bisa diselamatin?'

"Maksud lo apa?" Revan masih tidak bisa meyakini keadaan.

Teman-teman Revan mencoba menghampiri Revan. Mereka takut jika Revan mendengar penjelasannya, Revan akan pingsan.

Apalagi Dilon dan Dita itu adalah orang tua Revan, meskipun Revan sedikit membencinya.

"Maksud kalian apa?" Tanya Revan dengan nada paniknya.

"Van, lo yang sabar ya, lo jangan panik gini." Sahut Fathur. "Dokter udah berusaha buat nyembuhin bonyok lo, tapi mereka... udah gak bisa diselamatin."

Boy Bestfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang