Thirty Nine

738 55 14
                                    

"Jadi sekarang gimana? Putus? Atau lanjut?" Tanya Revan.

Deg.

Tubuh Aletha seketika lemas mendengar pertanyaan itu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang jelas, ia tidak siap jika insiden beberapa bulan yang lalu terulang lagi.

"T-terserah..." Aletha memasang muka sok tegar di depan Revan, dengan nada angkuhnya. "Gue ikut aja."

"Maksudnya?"

Aletha memang tidak pandai menyembunyikan ekspresi wajah. Aletha memandang wajah Revan sekilas, kakinya spontan langsung melarikan diri dan menjauh dari Revan.

Aletha bukan melarikan diri dan memasuki kelas, tetapi Aletha malah pergi ke taman belakang sekolah. Aletha menangis tersedu-sedu. Isakannya terdengar jelas. Untung saja taman ini memang tampak sepi. Hanya ada dedaunan kering yang berserakan menghiasi sekitar kursi bawah pohon yang sedang Aletha duduki ini.

"Kalau emang gak ada niat serius, buat apa mesti ada di kehidupan gue? Buat apa lo ada, van, kalo ujung-ujungnya cuma buat gue pusing sama diri sendiri." Aletha bermonolog.

"Gue emang bukan cewek yang lo pingin. Gue cuma cewek biasa, dan gue gak bisa jadi seistimewa kayak Nadya."

Aletha masih terisak. Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundaknya, Aletha spontak tersentak dan menghentikan tangisnya.
"Kalo lo berani jatuh cinta, lo juga harus bisa nerima kenyataan kalo suatu saat nanti lo bakal jatuh."

Lelaki itu duduk di samping Aletha. "Tha, Revan masih emosian, dia masih belum ngerelain papahnya. Ya lo ngerti lah."

"Tapi, thur... kata-kata yang tadi itu sebagian besar kalo dia emang udah gak suka sama gue. Dia benci sama gue. Mungkin dia juga kesel karena gue gak ada disaat dia lagi butuh." Kata Aletha.

Fathur menatap ke depan. "Hubungan kalian masih bisa diperbaiki dengan akal sehat, gak perlu pake emosi. Harusnya kalian bisa nahan emosi, inget! Kalian itu masih remaja, gak usah ngikutin hawa nafsu yang bikin hubungan kalian rusak!"

"Mungkin lo bisa ngomong baik-baik sama dia. Lo gak perlu nangis. Jelasin isi hati lo, kalo lo gak bermaksud buat ngejauh." Lanjut Fathur.

"Gue bingung harus gimana, gue bingung mau akhiri hubungan ini apa engga. Gue bingung sama diri sendiri." Kata Aletha.

"Kalo lo udah gak mau, gak usah dipaksa. Lo tau, sesuatu yang dipaksa gak baik hasilnya." Kata Fathur.

***

Ruangan BK dipenuhi dengan siswa dan siswi yang tampak penasaran. Semuanya memenuhi luar ruangan hingga dalam ruangan. Wakil kepala sekolah sudah menyuruh siswa dan siswi untuk keluar dari ruangan BK, karena disana ada masalah yang harus diselesaikan.

Baru awal masuk semester 2, sudah ada masalah besar di sekolah. Bukan masalah Revan, melainkan masalah Keshya, Angel, dan Alaric.

Pihak polisi menemukan bukti bahwa Keshya adalah pelaku penyebab kecelakaan orang tua Revan. Di wilayah kecelakaan memang tampak sepi, namun siapa sangka disana terdapat CCTV yang merekam semua kejadian dari awal hingga terjadinya insiden kecelakaan.

Awalnya Keshya mengelak semua perbuatannya. Ia tidak mau mengakuinya. Namun ditengah kebohongannya, Angel tidak menyadari bahwa ia mengatakan semuanya adalah perbuatan mereka bertiga. Ingin disaat itu juga Keshya menjitak kepala Angel.

Kepala sekolah berserta wakilnya, menghela napas. Mereka tidak akan segan-segan untuk mengeluarkan Angel, Alaric, dan Keshya dari sekolah SMA Kusuma Bangsa.

"Pak tolong, jangan keluarin kita bertiga. Kita beneran gak sengaja malam itu nabrak orang tua Revan." Keshya beberapa kali sudah mencoba untuk memohon, namun sepertinya itu semua percuma saja. Karena bukti-bukti sudah terungkap jelas, bahwa Keshya, Angel, dan Alaric adalah pelaku kecelakaan orang tua Revan.

Disisi lain, Revan sangat kecewa dengan Keshya. Revan tidak menyangka Keshya adalah penyebab semua itu. Revan benci Keshya. "Sekarang lo tau sisi buruk Keshya? Keshya gak bertanggung jawab atas semua perbuatannya." Bisik Wildan.

Revan keluar dari gerumbungan yang menggerumbungi ruangan BK. Perasaan Revan bertambah kesal. Apalagi setelah mengetahui bahwa penyebab kecelakaan ayahnya adalah Keshya dan kedua temannya.

"

Van, lo mau kemana?" Wildan mengejar Revan yang kian menjauh. "Van, jangan buru-buru jalannya."

Revan menghentikan langkahnya, ketika melihat gadis yang barusan berhenti di hadapannya. "Pulang sekolah, temuin gw ditaman belakang, ada hal yang mau gw omongin sama lo." Kata Aletha sambil menatap Revan lekat-lekat. Walaupun dalam hatinya itu sangat pedih, Aletha mencoba menahan semuanya.

Revan mengangguk, ada hal yang mengganjal dipikirannya. Mengapa begitu menyakitkan sekarang? Mengapa semuanya tampak sangat berantakan. "Oke." Satu kata itu yang hanya Revan ucapkan kepadanya. Dan itu sangat membuat dada Aletha terasa sangat sesak.

****

Pulang sekolah ini juga, Aletha tidak mau berlama-lama dengan masalahnya. Aletha harus bisa menghadapi semuanya. Aletha harus bisa menyelesaikan semua masalahnya. Walaupun kenyataan bisa saja menyakitkan.

Disaat ini juga Aletha berhadapan dengan Revan. Duduk dikursi panjang yang ada di taman  belakang. Rasa yang aneh, muncul di benak masing-masing.

"Lo pernah nanya hubungan ini putus atau mau lanjut kan?" Aletha mengawali semua percakapan ini.

"Gue rasa kita lebih baik putus." Lanjutnya. Revan langsung terkejut. Namun mencoba menahan untuk tidak memotong omongan Aletha. Dan membiarkan Aletha melanjutkan kata-katanya.
"Gue tau pasti lo benci banget sama gue. Disaat lo butuh gue, gue malah gak ada dan malah ngilang gitu aja."

"Gue rasa, gue emang gak pantes jadi pacar lo. Gue emang cewek biasa dan gak bisa buat lo nyaman. Gue terlalu kaku." Lanjutnya.

"Gue gak pernah bisa ngertiin lo..." katanya. "Jadi gue rasa, mendingan kita udahan aja."

"Tapi tha..." Revan mulai berkata-kata. "Apa gak ada cara lain selain ini? Apa lo yakin dengan berakhirnya hubungan ini semua bakalan selesai gitu aja?"

"Buat apa dilanjutin kalo emang menyakitkan, buat apa harus dipertahanin?" Air mata Aletha hampir saja menetas, "dari awal emang lo gak suka kan sama gue? Lo cuma liat gue dari fisik."

Revan tidak  bisa berkata-kata. Dulu Revan memang memandang Aletha lewat fisik, padahal seiring berjalannya waktu, perasaan sayang Revan mulai tumbuh untuk Aletha. "Itu dulu, tapi sekarang udah engga."

"Gak ada gunanya omongan lo saat ini, emang jalan terbaik saat ini adalah berpisah." Aletha seraya bangkit dari duduknya sambil menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. "Gue harap lo bisa dapetin yang terbaik lebih dari gue."

"Dan gue rasa, awal pertemuan kita dari sahabat dan menjadi pacar cuma bisa nyakitin diri gue sendiri, dan juga diri lo. Mungkin takdir kita itu menjadi seorang teman, bukan pacar." Aletha membalikkan badannya. Mengabaikan Revan yang sedang berdiri membeku, mendenhar kata demi kata yang Aletha keluarkan.

Revan tidak bisa berkata-kata. Hari ini adalah hari yang menyakitkan.

****

Aletha berlarian menyusuri koridor yang amat sepi. Isakannya terdengar di sepanjang koridor. "Buat apa dia ada di kehidupan gue? Buat apa? Buat apa datang kalo berakhir menyakitkan?"

Aletha duduk di kursi panjang depan kelas 11. Wajahnya menunduk, mengeluarkan semua rasa sakit di dalam hatinya.

Revan bisa melihat kesedihan Aletha di koridor kelas 11, Revan ingin sekali mengusap-usap pundak Aletha sambil mengatakan 'jangan menangis'. Namun seolah niatnya harus diurungkan, karena situasi sedang tidak membaik.

****

VOTE + KOMENT😁😊

Boy Bestfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang