00:45

414K 17.4K 3K
                                    

Dia, pergi.

°°°

Helaan nafas dan suara isak tangis tak berhenti mengiringi sepinya tempat tersebut. Semua anggota keluarga della, sahabat della, bahkan haris dan rifki turut hadir, mereka mewanti-wanti dengan cemas keadaan seorang gadis yang tengah berjuang akan hidupnya.

Mereka menunduk dan meminta yang terbaik. Tiada hal yang bisa mereka lakukan selain merasa berdosa dan menyesali semuanya. Semua, semua yang berada di tempat tersebut sudah tak ada yang bisa menyembunyikan tangisannya.

Satu jam lalu kondisi della menurun dan saat ini della tengah ditangani oleh dokter. Entah apa yang mereka lakukan hingga selama itu. Detik yang biasanya cepat kini terasa berjalan sangat lambat.

Viona berdiri bersandar pada tembok, wajahnya terlihat pucat, ia sudah tak menangis saat ini. Matanya menatap satu persatu wajah yang diselimuti rasa penyesalan, akhirnya ia memperhatikan kevin yang saat itu tengah menatapnya. Kevin menarik viona. Suasana semakin terasa mencekam. Tanpa diduga kevin menampar wajah viona. Semua tersentak dengan perlakuan kevin. Mereka memusatkan pandangan pada dua insan yang saling menatap dengan sorot mata yang berbeda.

Kevin kecewa pada viona. Semua terpancar jelas salam sorot mata kevin yang tajam. Viona hanya diam, tidak ingin melawan. Ia membiarkan kevin mengeluarkan amarahnya.

"Kenapa vi?" lirih, sangat lirih. Kevin mengeluarkan air matanya tanpa malu.

Viona tersenyum, ia menghapus air mata di wajah kevin. "Benci aku vin."

"Iya, gue benci banget sama lo." kini sorot mata kevin kembali menajam. Ia mencengkram erat lengan viona. Viona tersentak tapi masih mempertahankan senyumnya.

"Liat, gue benci liat lo senyum. Seolah lo bahagia liat della didalam sana."

Kini rifki bangkit, tidak terima dengan pernyataan kevin. Saat hendak membuka suara, viona menahannya.

"Bahagia? Bahagia kata kamu vin? Kamu ngelawak ya? Kalo iya, lucu vin, lucu banget." viona tertawa lirih. Kini matanya terpejam.

"Kamu bodoh ya? Kamu fikir aku sejahat itu? Tau apa sih kamu?"

"Oh iya aku lupa, kamu kan emang bodoh. Mudah diperdaya haha. Aku bego begoin masih aja percaya sama aku."

Plak. Satu tamparan lagi. Kini fatih, feli dan rifki bangkit. Melindungi viona. Feli menarik viona ke dalam dekapannya. Mengerti betapa terlukanya viona. Belum selesai dengan della kini bertambah dengan kevin. Benar-benar rumit.

Fatih dan rifki menarik kevin menjauh.
"Lo ngga ngotak ya?" sentak rifki. Ia sudah tak bisa menahan amarahnya.

"Diem bangsat."

"LO NGGA DIGINIIN NGGA BAKAL NGERTI BEGO. Gini gini, sekarang gunain otak lo. Lo liat viona lagi nangis di pelukan feli? Lo marah liat dia senyum dan mikir dia bahagia karna della sekarat, gitu?"

Rifki mendominasi, sedangkan fatih hanya diam bersandar pada tembok, bersedekap tangan. Belum saatnya ia berbicara.

"Vin, tadi dia senyum karna dia mau coba nenangin lo, nenangin diri dia sendiri. Dia juga hancur bodoh. Iya, emang. Ngga sebanding dan ngga ada apa-apa nya dibanding luka della. Tapi karna dia juga kan lo sadar kalo della berarti? Vin-"

Kevin mengangkat tangan. "Cukup bang, gue muak sama dia. Mau se hancur apapun hidup dia, gue ngga peduli dan ngga mau peduli lagi. Yang jelas gue akan balas apa yang dilakuin dia pada della."

Rifki menggeleng tak percaya, saat hendak kembali berbicara fatih memberi kode agar dirinya saja.

"Vin. Sadar ngga sih kalo sebenarnya lo marah sama diri lo sendiri?" tepat sasaran, kevin yang hendak melangkah seketika membeku.

aloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang