17| Baru Bilang Sayang, Udah Langsung Hilang

190 20 5
                                    

"Jangan membuat seseorang berharap lebih, cuma karena satu pesan singkat yang mampu membuat hati melayang."

***

Galang tersentak ketika mendengar suara pecahan kaca yang sangat kencang. Dia segera membuka matanya, melirik alarm yang masih menunjukkan pukul 05:30.

Suara pecahan itu terus terdengar berulang kali. Galang segera berlari menuju kamar Rani. Dia yakin sekali jika sekarang Rani pasti sedang menangis.

Galang membuka pintu kamar yang didominasi warna pink. Mata Galang meneliti setiap inti kamar Rani, namun tidak ada keberadaan adiknya.

"Ran," panggil Galang. "Lo dimana?" Dia memasuki kamar Rani, tak lupa menutup kembali pintunya.

Suara isakan tangis membuat Galang segera berlari ke samping tempat tidur. Disana Rani sedang menutup kedua telinganya dengan air mata yang sudah jatuh mengenai wajahnya.

Galang segera memeluk adik perempuannya itu. "Nggak ada apa-apa. Tenang dulu," ucapnya mengelus rambut Rani.

"Gu- gue takut."

Galang berdiri, dia mengambil earphone dan ponsel Rani yang tergeletak di atas tempat tidur. Dia mengajak Rani ke balkon, agar tidak terlalu terdengar suara bentakan dan pecahan kaca yang berbunyi.

Rani duduk di kursi single. Kedua tangannya masih menutup telinga, air matanya tidak berhenti untuk terus mengalir.

"Lo pakai ini." Galang segera memakaikan earphone dikedua telinga Rani dengan volume yang lumayan besar namun tidak sampai full. "Udah nggak terlalu kedengaran, kan?"

Rani mengangguk dengan ragu, dia segera menarik Galang ke pelukannya. Sangat beruntung mempunyai kakak seperti Galang.

Galang membelai rambut Rani. "Gue ke bawah dulu, lo jangan kemana-mana. Terus musiknya jangan lo matiin. Anggap aja lagi nggak ada apa-apa."

Rani diam, dia mengernyit bingung.

"Ah, budeg lo!" Galang menatap Rani dengan malas.

"LO TUNGGU SINI, JANGAN KEMANA-MANA!!" teriak Galang tepat di telinga Rani.

Perempuan itu tertawa, dia mengangguk. "Abang ganteng deh."

Galang memutar bola mata malas. "Kalau kaya gini aja, baru manggilnya pakai abang," cibir Galang.

Galang segera menutup pintu balkon, membiarkan Rani sendirian di balkon. Lagi pula pasti Rani akan memainkan ponselnya.

Dia menuruni anak tangga dengan wajah datar bahkan sangat datar ketika melihat Genta dan Reisa sedang adu mulut. Sedangkan Mbak Iyem mencoba untuk merapikan pecahan kaca yang berserakan di lantai dan Gita berdiri di dekat sofa dengan mata yang sudah memerah menahan tangisnya.

Galang memegang bahu Mbak Iyem. "Nanti aja, Mbak."

Mbak Iyem mengangguk, dia segera berlari menuju dapur tidak ingin ikut campur urusan keluarga atasannya.

"GUE NGGAK MAU TAHU. POKOKNYA MOBIL GUE HARUS BALIK!!" bentak Reisa ke Genta. Laki-laki paruh baya itu mengusap wajahnya frustasi.

"Kamu sendiri yang salah, kenapa harus saya yang menebus mobil kamu?" balas Genta dengan tenang.

"KARENA LO BAPAK GUE!"

"Kamu masih anggap saya Papa kamu, Rei? Setelah banyaknya masalah yang kamu buat sampai saya hampir mati, kamu masih menganggap saya Papa kamu?!!"

Galang menarik napas panjang. "Udah, Pa." Mencoba menenangkan Genta.

Genta menoleh ke Galang. "Kakak kamu itu harus dikerasin, Lang. "

Stories About Our Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang