Asrama Di Lian

6.4K 73 3
                                    

Gubrak! Bruk! Agh! Tolong, berhenti, kumohon! Tolong! Saya mohon, tolong..berhenti.. dan seperti mimpi terburuk yang tak pernah mendatangiku di malam hari sebelum hari itu, suara ayahku tak terdengar lagi. Suara rintihannya berubah menjadi desisan, dan desisan itu akhirnya hilang. Kugigit erat-erat bibirku agar aku tak berteriak. Kurasakan asin di mulutku, dan bau karat yang khas karena gigitanku terlalu keras. Air mataku deras tumpah mengaburkan penglihatanku di gelapnya tumpukan ayaman bambu-bambu ayahku dimana aku bersembunyi.

“Mana anak perempuannya? Jangan sampai ia menjadi saksi juga! Cepat cari!” teriak laki-laki berambut panjang yang ku tak kenal. Sepertinya ia pemimpin dari lima orang gerombolan itu. Aku diam menahan nafas, kini instinct untuk tetap hidup kembali membawaku ke realitas keadaan. Air mataku secara mendadak berhenti mengalir.

Malaikat maut masih belum bertugas menjemputku. Matahari mulai menghilang dan kembali ke pelabuhannya. Dan suara-suara binatang hutan kecil yang mengelilingi asrama sekolah mulai terdengar bertalu-talu. Sungguh aku tak pernah sesenang itu mendengar suara serigala memanggil satu sama lain. Gerombolan laki-laki itu pun berjalan meninggalkan gubuk kami. Setelah menunggu beberapa lama aku pun berlari. Aku tak berani melihat keadaan ayahku yang kuyakini telah mati, betapa pun aku hanya anak perempuan berumur 13 tahun. Aku berlari ke satu-satunya rumah yang kutahu akan membantuku, yang jaraknya jauh, tapi ku tak peduli. Aku terus berlari, latihan bertahun-tahun naik turun lembah mengelilingi asrama sekolah tempat ayahku bekerja membuat jarak itu tak melelahkan untuk tubuh kecilku.

Ting-tong! Duk! Duk! Duk! Aku terus memencet bel rumah besar di hapadanku dan menggedor-gedor pintu yang tingginya dua kali lipat tinggiku. “Pak Besar! Tolong, kumohon! Buka pintu ini! Tolong!” teriakanku bercampur dengan isak tangisku yang mulai keluar lagi. Rasa takut yang tidak masuk akal bahwa gerombolan itu mengejarku menghantui perasaanku.

“Cita? Ada apa, nak?” suara lembut perempuan yang kucintai seperti ibuku itu membuka pintu. Spontan aku memeluk tubuh ramping perempuan anggun yang umurnya hanya membuatnya lebih cantik dari tahun sebelumnya. “Ibu, ayah, ayahku...ayahku...” isakku. “Kenapa, nak?” peluknya erat dan menyembunyikan rasa khawatir dengan suara tenangnya. “Ayahku dibunuh, ayahku dibunuh...” Itu kalimat terakhir yang aku ingat, setelah itu semuanya gelap...

Asrama Di LianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang