BAGIAN 26

38K 2.3K 9
                                    

Apa yang orang lain dapatkan dari Allah adalah ujian agar kita bisa bersabar dan menanti. Karena Allah itu Maha Adil.

* * *

SALING MENGERTI

Salman baru saja menutup teleponnya ketika Kiana keluar dari kamar. Kiana pun segera beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Salman mengikuti langkahnya.

"Mi..., Bu Ratih telepon, katanya mereka akan mengadakan pengajian besok," ujar Salman memberitahu.

"Iya Bi..., besok kita kesana," balas Kiana.

Salman menatap Kiana dari arah samping, Kiana pun menoleh dan balas menatapnya.

"Ada apa Bi? Ada yang salah?," tanya Kiana.

Salman tersenyum.

"Ummi sadar nggak, kalau setiap kali Abi bilang sesuatu, Ummi selalu menanggapinya dengan singkat?."

Kiana pun mengalihkan pandangannya pada makanan yang sedang ia masak.

"Afwan ya Bi..., Ummi memang tidak terbiasa berbicara banyak. Afwan kalau Abi tidak suka," jawab Kiana.

"Bukan tidak suka Mi... ."

Salman pun mendekat dan memeluk Kiana dari belakang dengan lembut. Kiana merasa berdebar seketika, wajahnya pun memerah. Salman mengecup pipinya dengan hangat.

"Abi adalah suami Ummi sekarang, jadi..., apapun yang Ummi inginkan, apapun yang Ummi rasakan, tolong beritahu Abi. Abi juga ingin tahu bagaimana keadaan Ummi. Kalau Ummi tidak mengatakan apapun, Abi nggak akan mengerti," ujar Salman.

"Iya Bi..., afwan karena Ummi nggak berusaha untuk mengatakan apa yang Ummi rasa ataupun yang Ummi mau. Ummi takut terlalu banyak membebani Abi."

Salman mencegah tangan Kiana yang hendak melanjutkan pekerjaannya. Ia berdiri di hadapan Kiana dan mengecup keningnya dengan lembut.

"Ummi adalah tanggung jawab Abi, karena Abi adalah suami Ummi. Ummi nggak perlu takut bahwa Abi akan merasa terbebani jika Ummi mengatakan sesuatu, ataupun menginginkan sesuatu. Ummi nggak perlu merasa khawatir, bicara saja..., Abi akan mendengarkan dan Abi akan memenuhi jika Abi mampu."

Kiana menitikkan airmatanya perlahan, Salman segera mengusap airmata itu dari wajah isterinya.

"Apa Abi menyakiti perasaan Ummi?," tanya Salman, cemas.

Kiana menggeleng pelan, ia menatap Salman dan tersenyum.

"Afwan Bi..., Ummi nggak pernah mengerti tentang masalah seperti ini. Sejak kecil Ummi hanya tahu, bahwa tidak boleh menyusahkan orang lain dengan memberitahu apa yang kita rasakan ataupun inginkan. Ummi hanya terbiasa diam dan menyimpan sendiri, Ummi tidak berani mengatakan apapun," jelas Kiana, diiringi dengan airmatanya yang semakin deras membasahi wajahnya.

Salman mengajak Kiana untuk duduk di kursi meja makan.

"Bilang sama Abi, siapa yang menyuruh Ummi untuk selalu tutup mulut ketika merasakan sesuatu atau menginginkan sesuatu???," Salman bertanya dengan tegas.

Kiana berusaha mengatur nafasnya yang agak sesak karena menangis.

"Paman dan Bibi Ummi yang menyuruh Bi..., Ummi tidak boleh banyak bicara, tidak boleh mengatakan apapun ketika sakit, dan tidak boleh menginginkan hal yang macam-macam. Mereka akan marah besar dan mengurung Ummi di gudang semalaman jika berani melanggar," jawab Kiana.

Salman pun segera memeluk Kiana dengan erat setelah mendengar penjelasan yang sebenarnya. Kiana masih menangis dalam pelukan Salman.

"Kapan hal itu berakhir Mi?."

"Saat Ummi memutuskan tinggal di pesantren Abah, tepatnya setelah Ummi meminta pertolongan pada Bu Nyai karena Bu Nyai pernah mengajar di MTs. tempat Ummi sekolah."

"Meminta tolong? Apa yang terjadi sehingga Ummi harus meminta tolong pada Bu Nyai?."

Kiana merasakan kembali sakit yang pernah ia rasakan di masa lalu. Salman mencoba menguatkan Kiana untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Paman menghabiskan uang yang diwariskan oleh Orangtua Ummi untuk keperluan sekolah dan hidup Ummi selama masih dalam pengasuhan mereka. Uang itu mereka gunakan untuk membeli beberapa petak tanah yang ternyata bermasalah. Saat tanah itu menjadi kasus sengketa lahan, Paman pun tidak sanggup untuk membayar pengacara lagi. Bibi memberinya ide saat itu," ujar Kiana.

"Ide apa Mi?," Salman mencoba menenangkan Kiana selembut mungkin.

"Menjual Ummi...," tangisan Kiana pun pecah kembali.

"Astaghfirullah hal 'adzhim!!!."

Salman tak menduga itu, ia semakin mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala Kiana dengan perasaan yang pedih.

"Lalu apa yang Ummi lakukan? Apakah Ummi melarikan diri?," tanya Salman lagi.

Kiana menggeleng lemah.

"Ummi berusaha melawan Bi..., tapi mereka memukuli Ummi, seakan Ummi adalah binatang yang tidak pantas untuk dikasihani. Ketika mereka meninggalkan Ummi setelah dipukuli, Ummi pun berusaha untuk bangkit dan berjalan menuju sekolah dengan tubuh yang sudah babak belur. Bu Nyai yang menolong Ummi dan membawa Ummi ke pesantren untuk dirawat. Abah menuntut Paman dan Bibi, dan melaporkan mereka pada pihak kepolisian," jelas Kiana.

"Alhamdulillah..., Allah masih melindungi Ummi dan menempatkan Ummi di tengah orang-orang shaleh. Allah sayang sama Ummi...," Salman kembali mengecup kening Kiana.

Kiana menyeka airmatanya, ia menatap ke arah Salman.

"Abi nggak merasa malu kan, setelah tahu apa yang terjadi pada Ummi di masa lalu?," tanya Kiana.

Salman tersenyum seraya mengusap punggung Kiana dengan lembut.

"Abi tidak merasa malu atas diri Ummi. Ummi adalah pemberian Allah yang paling Abi cintai, dan Abi tidak akan pernah merasa malu hanya karena masa lalu Ummi yang sudah lewat. Insya Allah, sebisa mungkin, Abi akan selalu menjaga Ummi. Ummi nggak perlu takut lagi," jawab Salman.

Kiana kembali merebahkan kepalanya dalam pelukan Salman. Ia merasa beruntung karena diberikan suami paling pengertian seperti Salman oleh Allah.

'Masa lalu ada di belakang. Kini kita ada di masa depan, jadi..., tak perlu kembali menengok ke belakang.'

* * *

Kamu Doaku [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang