BAGIAN 37

33.9K 2.1K 41
                                    

Hati yang terluka takkan pernah ada obatnya. Maka jangan pernah lukai hati seseorang.

* * *

KENYATAAN YANG SESUNGGUHNYA

Diva membantu Ratih yang sedang membuat kue sore itu. Syifa sedang berada di ruang tengah dan menghafalkan Al-Qur'an bersama Daniel. Keberadaan Gunawan tak diketahui, karena pria itu akhir-akhir ini sering keluar rumah tanpa memberi tahu siapapun.

"Aku mau ke penjara Bu..., mau nengokin Kak Salwa," ujar Diva, dingin.

Prakkk!!!

Ratih pun tiba-tiba menjatuhkan sendok yang sedang dipakai mengaduk adonan kue. Ia menatap Diva yang ternyata juga sedang menatapnya.

"Ibu kenapa? Kok kelihatannya kaget setelah aku menyebut nama Kak Salwa?," tanya Diva, pura-pura bodoh.
Ratih gelagapan.

"Nggak kok..., Ibu nggak apa-apa. Ibu cuma kaget karena kamu tiba-tiba ingin menjenguk Salwa. Bukankah kamu masih marah padanya atas apa yang dia lakukan terhadap Syifa?," Ratih berusaha menghasut Diva.

Diva sudah memprediksi sejak awal, bahwa Ratih akan mengajukan pertanyaan seperti itu padanya. Diva pun meletakkan loyang yang akan dipakai mencetak kue.

"Aku lebih marah karena Bapak berusaha meracuni Salwa!!!," bisik Diva, dalam hati.

"Aku nggak marah lagi Bu..., kita sebagai umat Islam diajarkan untuk saling memaafkan. Jadi..., kenapa aku harus terus-menerus marah pada Kak Salwa...," ujar Diva.

Ratih menyeka keringatnya yang tiba-tiba saja bercucuran. Ia berusaha sekali untuk menutupi kegelisahannya. Daniel masuk ke dapur tak lama kemudian.

"Mi..., kita pulang yuk. Udah hampir Maghrib," ajak Daniel.

Diva tersenyum lalu menganggukan kepalanya. Ia kembali menatap Ratih.

"Bu..., aku pulang dulu ya. Besok Insya Allah aku akan ke sini lagi setelah menjenguk Kak Salwa," pamit Diva.

"I..., iya..., kamu hati-hati ya di jalan," balas Ratih, gugup.

"Iya Bu..., Assalamu'alaikum... ."

"Wa'alaikum salam... ."

Gunawan datang tak lama setelah Diva pulang. Ratih menyambutnya dengan wajah tak karuan.

"Kenapa kamu? Kok wajahmu aneh begitu?," tanya Gunawan.

Ratih mengabaikannya, namun Gunawan malah mendekat dan kembali menanyainya.

"Kamu kenapa? Kok diam terus? Ada yang salah?," tanya Gunawan.

"Diva akan pergi ke penjara untuk mengunjungi Salwa," jawab Ratih, datar.

Gunawan terbelalak, ia menatap Ratih tajam.

"Apa kamu bilang???."

Ratih menatap Gunawan tajam.

"Bukankah sudah kubilang untuk mengatakan yang sebenarnya pada Diva??? Sekarang kalau dia akhirnya tahu dari Salwa, jangan salahkan siapa-siapa!!! Kamu sendiri yang salah!!!," tegas Ratih.

Gunawan pun berpikir keras bagaimana cara mencegah Diva untuk tidak menemui Salwa.

"Sudah..., katakan saja yang sejujurnya pada Diva. Biar beban hidup kita berkurang," saran Ratih.

"AKU TIDAK MAU MENDEKAM DI PENJARA!!!," teriak Gunawan, murka.

"Apapun yang kamu lakukan tetap saja akan membawamu ke penjara!!! Jadi lebih baik katakan saja yang jujur, biar hukuman yang akan kamu terima tidak berat!!!," balas Ratih dengan rasa frustasi.

"Hukuman untukku??? Jadi menurutmu, kamu tidak akan di penjara juga??? Kamu mendukungku untuk melakukan hal itu pada Ayuni!!! Jadi otomatis kamu akan ikut juga bersamaku ke penjara!!!," tegas Gunawan.

Ratih menatap Gunawan dengan sinis.

"Mungkin hal itu lebih baik, daripada terus berbohong!!! Toh aku hanya mendukung, tapi kamulah yang membunuh Ayuni!!!," tunjuk Ratih.

Gunawan benar-benar naik pitam, ia memukuli Ratih tanpa ampun.

"Sekali kamu buka mulut tentang hal itu, maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu juga, seperti yang aku lakukan pada Ayuni!!!," ancam Gunawan.

BRUAKKKHHH!!!

Pintu di dobrak paksa dari luar oleh beberapa orang anggota kepolisian yang sudah bersiaga di sekeliling rumah itu. Gunawan tak dapat berkelit lagi karena sudah memukuli Ratih hingga babak belur. Ia diringkus dengan segera oleh Polisi.

"Apa-apaan ini?," tanya Gunawan, berpura-pura.

"Anda kami tahan atas pembunuhan Sri Ayuni, anda berhak mendapatkan pengacara, dan jika tak mampu untuk menyewa pengacara maka pengadilan akan menyiapkannya untuk anda," ujar Adnan seraya memakaikan borgol di tangan Gunawan.

"Kalian bilang apa? Kalian punya bukti apa???," Gunawan marah.

Diva masuk ke dalam rumah itu bersama Daniel yang terus mendampinginya. Ia menatap mata Gunawan dengan tajam dari balik niqob-nya. Salah satu Polisi pun memutar rekaman yang memang sengaja di letakkan dalam rumah itu oleh Diva sendiri.

Semua terekam dengan jelas, sehingga tak ada kata-kata lagi yang mampu keluar dari mulut Gunawan.
Salman hadir di sana dengan wajah di penuhi amarah. Kiana hanya mampu terdiam dan menatap ke arah Gunawan dengan tatapan tak percaya.

"Bagaimana bisa Bapak membunuh Ibu saya???," tanya Salman.

Gunawan dan Ratih terpana dengan pertanyaan Salman.

"Saya menjadi anak yatim piatu sejak kecil karena kalian!!! Apa masalah kalian hingga harus melakukan hal seperti ini??? Apa salah Ibu saya???," Salman murka.

"Maaf...," ujar Gunawan.

Diva maju ke hadapan Gunawan dan membuatnya menatap Diva dari dekat.

"Aku malu punya Bapak seorang pembunuh!!!," teriak Diva.

"Kamu nggak perlu malu..., aku bukan Bapak kandungmu, dan Ibu yang kamu kenal pun bukan Ibu kandungmu...," ujar Gunawan, jujur.

Diva terperangah, Daniel dengan segera meraihnya untuk dilindungi.

"Apa maksud Bapak?," tanya Daniel.

Ratih yang sudah diberi pertolongan oleh pihak Kepolisian pun mendekat pada Diva yang masih mematung karena terkejut.

"Kamu puteri kandung Ayuni..., dan Salman adalah Kakakmu, jika dia benar, bahwa dia adalah putera Ayuni...," jawab Ratih.

Brukkk!!!

Diva kehilangan kesadarannya.

* * *

Kamu Doaku [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang