17

175 7 0
                                    

"Mama, Mama dari tadi?"

"Nggak juga, emang kamu ngapain sampe nggak denger Mama panggil?" mama memasuki kamar dan duduk di sofa dekat jendela kamar Rachel.

"Tadi Rachel bales chatt di group."

"Sampe nggak denger Mama panggil?"

Rachel diam dan tersenyum kikuk. Gadis itu kemudian melepaskan lilitan handuk di kepalanya sambil berjalan ke kamar mandi.

"Malam ini Mama sama Papa mau menghadiri undangan pertunangan anak teman Papa kamu." ucap mama saat Rachel kembali. "Kamu mau ikut sayang?"

"Kayaknya enggak deh Ma, Rachel mau tiduran aja dirumah."

Mama mengangguk, "Yaudah, kamu nanti hati-hati ya dirumah." pesan beliau yang kemudian diangguki oleh putrinya. "Oke, sekarang kamu sisir rambut kamu gih. Abis itu turun ke bawah, kamu makan dulu, nanti kamu mau keluar sama temen kamu kan?"

"Iya,"

Mama tersenyum lembut dan mengusap pipi Rachel, "Cari cogan ya nanti di jalan."

Bibir Rachel mengerucut. Mamanya justru terkekeh dan mencubit pelan pipinya.

"Kenapa sih? Mama juga mau dong dikenalin sama pacarnya anak Mama."

"Mama.." tegur Rachel. "Jangan ikutan kayak Papa deh.."

"Kenapa emangnya? Mama setuju sama Papa kamu."

Rachel mendengus jengkel. Mama dan Papanya sama saja. Mereka memang benar-benar pasangan yang serasi.

"Udah jangan cemberut gitu. Ntar yang naksir pada ngundurin diri loh."

"Maa.."

"Iyaa?" jawab mama santai. "Udah ah, Mama mau ke supermarket dulu. Hati-hati ya nanti."

Rachel merubah ekspresinya menjadi netral, "Mau Rachel anter? Nanti Rachel perginya jam 11 kok."

"Nggak usah, Mama sekalian mau jengukin temen Mama yang sakit."

Rachel mengangguk dan tersenyum, "Hati-hati."

"Iya, kamu juga ya."

Rachel mengangguk lagi, mama kemudian berlalu dari hadapannya.

Gadis itu berjalan menghampiri phonselnya yang terus saja berdering. Ia menghela napasnya jengah saat tahu keributan itu berasal dari groupnya dengan empat temannya. Tanpa berniat merespon, ia justru berjalan ke meja riasnya merapikan rambut panjangnya dan kemudian turun ke dapur untuk sarapan.

"Guys, ntar kita ke toko tas yang di depan sana dulu ya. Gue mau beli soalnya." sambil memilih sepatu, Anisa berucap untuk memberi tahu temannya.

Keempatnya dengan seirama menjawab, "Iyaa."

Kini, mereka sedang berada di salah satu mall  untuk membeli beberapa barang yang mereka butuhkan untuk kuliah.

Gina mendesah pelan. Gadis itu terlalu bingung untuk memilih model sepatu seperti apa yang akan ia beli. Di tangannya, ada empat sepatu dengan motif berbeda dan juga model yang berbeda.

Ia bingung, empat sepatu yang ia pegang sekarang memiliki motif dan model yang bagus. Ia menyukai keempatnya. Tapi sayang, uang bulanannya tinggal sedikit, dan ia belum mendapat transferan dari mamanya. Sisa uangnya hanya cukup untuk membeli satu pasang sepatu dan beberapa peralatan lainnya, juga untuk uang sakunya selama 2 minggu.

Muti yang tadinya sedang mencoba-coba sepatu sedikit terganggu dengan gerutuan kecil Gina. Gadis itu melepaskan sepatu yang baru saja ia coba dan meletakkan kembali ke tempatnya.

"Lo kenapa sih Gin?"

"Bingung."

"Bingung kenapa?"

Gina mengangkat kedua tangannya memperlihatkan sepatu pilihannya. "Gue suka semuanya."

"Yaudah beli aja semuanya."

Gina menggeleng, "Uang gue tinggal dikit."

"Pilih salah satu kalo gitu."

"Gue suka semuanya."

"Serakah lo." olok Muti. "Pilih satu aja juga udah cukup kali. Ntar kalo mau lo beli lagi."
Gina cemberut, "Pilihin.."
"Ogah. Pilih sendiri."

Muti meninggalkan Gina yang semakin bimbang. Ia kembali mengambil sepatu pilihannya tadi dan menghampiri temannya yang sudah mengantri di kasir.

"Hel, lo udah selesai?" tanyanya.

"Udah."

"Samperin Gina gih. Dia bingung beli sepatu yang mana."

Rachel mengernyit, tidak lama ia mengangguk dan menitipkan barangnya dengan Dara.

Rachel menghampiri Gina yang sepertinya sedang menggunakan cara cap cip cup untuk memilih sepatunya.

"Kenapa nggak pilih yang sesuai warna kesukaan lo?" saran Rachel langsung.

Gina menoleh, "Bagus semua. Gue pengen beli semuanya tapi uang gue nggak cukup."

"Mau gue bayarin dulu?"

"Enggak. Nggak usah. Gue pilih salah satu aja." Gina kembali meneliti keempat sepatu itu.

"Gimana?"

"Masih bingung," ucapnya manyun.

Rachel menggeleng pelan. "Lo liat bener-bener, terus lo rasain, hati lo lebih srek yang mana."

"Semuanya."

"Yaudah, gue bayarin."

"Eh, nggak mau." Gina menggeleng.
"Bantu gue mikir sekali lagi. Kalo nggak bisa baru deh gue minta bayarin." ucapnya menyengir.

Rachel menghembuskan napasnya kasar dan mengangguk.

"Gini deh, almameter kita kan warnanya biru. Gimana kalo lo ambil yang putih itu aja. Itu juga ada kombinasi warna birunya dikit.

Gina memperhatikan sepatu yang disarankan Rachel. "Tapi gue suka warna hijau."

"Itu nanti, kalo kita udah boleh pake seragam yang bebas di hari lain. Dan lo bisa beli di lain waktu."

"Emm.." Gina berpikir sejenak, "Yudah deh. Lagian ini motifnya juga bagus. Nggak banyak coraknya." Gina mengangguk antusias kemudian menarik Rachel menuju kasir.

Muti, Dara, dan Anisa masing-masing memasang wajah bete mereka. Sudah setengah jam mereka berdiri di dekat kasir hanya untuk menunggu Gina yang bingung dengan sepatu pilihannya.

Gina memamerkan senyum terbaiknya dan memberi tanda peace kepada tiga temannya itu.

Dan sekarang, para anggota Ulzonk Girl melajukan mobil mereka masing-masing menuju cafe yang sudah mereka rencanakan.

Tiba disana, mereka langsung menduduki sofa panjang yang saling berhadapan di ujung ruangan. Tempat yang sudah di pesan Dara terlebih dahulu.

"Ra, tumben lo ngajakin duduk di sofa gini." heran Muti. "Biasanya juga kita duduknya di kursi biasa."

"Karna ada sesuatu yang pengen gue omongin sama kalian."

"Apaan?" tanya Gina kepo.

"Ntar dulu. Gue lagi nungguin seseorang."

"Siapa?" Anisa ikutan kepo.

"Temen Kakak gue."

"Yang mana?" Muti pun juga ikutan kepo.

"Yang jadi senior di kampus kita."

"SERIUS? SIAPA?" tanya ketiganya kelewat kepo.

"Ntar aja. Bentar lagi juga nyampe."

Muti, Gina, dan Anisa sama-sama mendesah kecewa.

MR.FLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang