7. Goodbye My Love

5.2K 275 1
                                    

Bagai telur di ujung tanduk ....

Itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan Viona saat ini. Gadis itu semakin tertekan dengan keadaannya saat ini. Viona tak mungkin selamanya menyembunyikan kehamilannya di depan keluarganya. Perutnya pasti akan membesar dan mereka akan curiga. Ia tak berani untuk menceritakan yang sebenarnya pada mereka. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana marah dan kecewanya wajah mereka. Seperti seharian ini, perutnya terus-terusan mual dan bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Anaknya seakan rewel dan memaksanya untuk segera menunjukkan keberadaannya saat ini di rahimnya. Viona baru saja keluar dari kamar mandinya. Ia mengelap mulutnya dengan tissu untuk membersihkan bekas air di sekitar mulutnya.

"Mama mohon jangan rewel, ya! Papamu tidak ada di sini. Mengertilah dengan kondisi Mama saat ini." ucapnya sambil mengelus perutnya mencoba untuk memberi pengertian pada anak dalam perutnya. Ia harus segera memutuskan sebuah pilihan secepatnya. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi dan membuat mereka semakin curiga padanya. Bundanya selalu terlihat khawatir kala setiap hari ia selalu muntah-muntah, terutama setiap pagi. Mereka terus membujuknya untuk ke dokter dan ia selalu mencari alasan untuk menolaknya. Bisa tamat riwayatnya kalau sampai mereka mengetahui bahwa putri mereka sedang mengandung tanpa suami. Pikirannya benar-benar menemui jalan buntu sekarang. Akhirnya, ia tak punya pilihan lain lagi untuk bisa menutupi semuanya tanpa harus menyingkirkan calon bayinya. Meski kehadirannya tak diharapkannya pada saat ini disaat ia belum menikah dan tak bersuami, tapi tak pernah terlintas di pikirannya untuk menggugurkannya. Bayi ini tidak berdosa dan ia berhak untuk melihat dunia. Viona tak akan pernah setega itu. Bagaimanapun, janin yang dikandungnya adalah benih pemuda yang dicintainya dan ia tak sanggup jika harus membuangnya.

"Kita akan segera menemukan jalan keluarnya. Bantu Mama agar kuat menghadapi ini." gumamnya sambil memegangi perutnya.

Ia berjalan keluar kamarnya dan memutuskan untuk menemui keluarganya yang saat ini sedang berkumpul di ruang keluarga. Ia mencoba menetralkan kegugupannya dan jantungnya yang sudah berdegup kencang. Dengan perlahan, ia berjalan menuju mereka.

"Eh, Vio. Kamu sudah agak mendingan mualnya? Sini, Nak!" pinta Alika sambil menepuk sofa yang didudukinya. Viona mengangguk dan duduk di dekat mereka.

"Ayah, Bunda... Ada yang mau aku sampaikan sama kalian." Alika dan Nathan yang sedang asyik menatap layar lebar di depannya langsung mengalihkan pandangannya pada putri mereka.

"Mau cerita apa?" tanya Nathan. Viona menarik nafas sejenak.

"Boleh gak kalau aku mempercepat keberangkatanku ke Malaysia? Kira-kira lusa nanti." Alika dan Nathan sedikit terkejut dengan permintaan putri mereka yang tiba-tiba saja ingin mempercepat keberangkatannya ke luar negeri.

"Kenapa, Vi? Masih ada waktu hampir sebulan lagi untuk berangkat ke sana. Kenapa harus terburu-buru?" tanya Nathan heran. Viona merasa gugup saat ini. Ia menggeleng.

"Gak apa-apa, Yah. Aku kan harus mencari tempat tinggal di sana untuk nanti dan mengenal lingkungannya supaya nanti aku bisa nyaman tinggal di sana. Aku cuma gak mau repot lagi nantinya. Sekaligus rencananya aku pengen sambil kerja buat nambah-nambah biaya kuliah dan hidup di sana." Viona mencoba untuk mencari alasan yang dirasa masuk akal. Ia berharap mereka tak mencurigainya sedikit pun. Alika memandang putrinya sedih.

"Apa kamu tak mau menghabiskan waktu lagi sama kami? Kamu gak betah di sini lagi bukan?" Viona menggelengkan kepalanya. Sama sekali ia tak bermaksud seperti itu. Ia merasa bersalah melihat raut sedih bundanya.

"Iya, Vi. Kok cepet-cepet gitu rencananya? Kamu kan masih punya waktu untuk habisin waktu sama kami." timpal Ira. Viona tersenyum tipis. Ia merasa semakin bersalah saja kepada keluarganya.

Red In The SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang