Sudah dua minggu lebih sejak kejadian itu. Viona langsung segera menyelesaikan berkas-berkas kelulusannya di sekolah dua hari setelahnya agar ia tidak datang ke sekolah lagi. Ia tak siap bertemu dengan Dio lagi. Ia sudah gelisah setengah mati saat datang ke sekolah karena takut bertemu dengan pemuda itu. Sebisa mungkin, ia menghindari tempat-tempat di mana ia biasa melihat Dio. Ia terlalu malu dan takut untuk bertemu dengannya lagi. Ia sudah memutuskan untuk melupakan Dio dan perasaannya mulai saat ini. Ia merasa jika cinta ini tak layak untuk dipertahankan lagi dalam hatinya. Serasa menggapai bintang di langit, mustahil untuk bisa bersatu.
Saat ini, ia dan keluarganya sedang sarapan pagi di ruang makan yang besar. Sejak bangun tadi, Viona merasa kepalanya terasa berat dan pusing. Ia mencoba untuk memaksakan sarapan.
"Apa kamu sudah yakin untuk memilih jurusan IT di sana?" tanya Nathan kepada putrinya. Viona mengangguk.
"Iya, Yah. Aku pengen segera berangkat ke sana."
"Apa kamu gak bisa kuliah di sini aja, Nak? Kan kamu bisa kuliah sama kakak-kakak kamu di sini." tanya Alika. Viona tersenyum. Ia paham jika bundanya merasa berat untuk melepaskannya.
"Aku pengen ngerasain rasanya tinggal di luar negeri, Bun. Aku pengen nyoba suasana baru." jelasnya. Karena tinggal di sini pun tak yakin akan membuatku aman darinya, Bun, lanjutnya dalam hati.
"Sebenarnya kami kurang setuju kamu berada jauh dari kami. Tapi melihat keinginan kuat kamu, kami harus bisa merelakannya. Kamu sudah mulai dewasa sekarang. Tolonglah jaga kepercayaan kami sebaik-baiknya!" pinta Nathan. Viona tersenyum tipis. Luka itu kembali menganga. Andai mereka tahu jika kepercayaan itu sudah rusak tanpa sepengetahuan mereka karena kesalahannya. Apa ia akan mendapat ampunan dari Tuhan juga orang-orang yang telah ia kecewakan tanpa mereka tahu?
Hukkk ....
Viona langsung membekap mulutnya ketika tiba-tiba saja ia merasa perutnya bergejolak. Ia langsung beranjak dari duduknya dan berlari menuju dapur. Tubuhnya serasa diaduk-aduk. Mereka semua mengerutkan kening melihat langkah Viona yang tergesa-gesa.
"Vio kenapa, Bun?" tanya Ira. Alika mengedikkan bahunya.
"Gak tahu. Tadi kelihatannya baik-baik aja."
"Masuk angin kali." timpal Nino sambil menyuapkan makanannya. Mereka hanya mengangguk dan kembali melanjutkan sarapannya.
Huekkk ... Huekk ....
Viona terus memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa pening. Anehnya, hanya sedikit yang dimuntahkan. Tapi ia merasa seperti sedang mabuk perjalanan saja.
"Vi, kamu gak apa-apa, 'kan?" tanya Alika yang datang menghampiri putrinya. Ia memijat tengkuk Viona. Viona menggeleng.
"Masuk angin kayaknya, Bun. Dioles minyak angin atau minum obat juga nanti sembuh." jawabnya lemas. Ia merasa perutnya mual lagi dan muntah kembali di wastafel. Alika masih memijat tengkuk putrinya.
"Mau dibikinin teh anget gak sama Bunda?" Viona hanya mengangguk. Tubuhnya terasa lemas. Ia teringat akan ucapan Eka waktu itu. Ia harus cepat-cepat memastikannya sebelum terlambat.
***
Suasana sedang sepi di rumah. Kebetulan, semua anggota keluarga sedang bepergian. Bundanya sedang berkunjung ke rumah kakek neneknya. Kedua kakak kembarnya sedang kuliah dan adiknya sedang sekolah. Ayahnya sudah pasti berada di kantor. Viona berjalan dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Ia tak sabar ingin segera mencoba alat itu. Begitu sampai di kamarnya, ia segera memasuki kamar mandi dan buang air kecil yang ditampungnya dalam sebuah wadah kecil. Ia membuka kemasan benda yang tadi dibelinya di apotek terdekat. Ia menuruti instruksi yang tersedia di balik kemasannya. Ia mencelupkan benda pipih itu ke dalam air seninya. Ia tak sabar menunggu hasilnya. Ia merasa gelisah dan jantungnya berdegup kencang. Setelah beberapa menit menunggu, ia mengangkat benda itu dengan tangan gemetar. Ia mengamati benda dalam genggamannya sejenak. Tubuhnya langsung bergetar hebat dan air matanya luruh seketika. Dua garis merah terpampang jelas di sana. Ia sempat tak mempercayai ini. Tapi bukti itu menyatakan kalau di rahimnya kini sedang tumbuh makhluk hidup yang akan menjadi anaknya nanti. Tangannya langung meraba perutnya. Apa anak Dio sudah ada di sana sekarang? Bagaimana kalau nanti anak itu menanyakan ayahnya setelah dia besar nanti? Pikirannya terus menerawang dan berkecamuk akan nasib yang dihadapinya setelah ini. Dio sudah berhasil menanamkan benihnya di rahimnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa yang harus ia perbuat dengan anak ini? Ia benar-benar tertekan dengan semua ini.
"Apa yang harus aku lakukan dengan kehadiranmu saat ini?" gumamnya sambil mengelus perut ratanya.
***
Dio begitu frustasi saat ini karena ia belum bisa menemukan gadis itu. Ia benar-benar kehilangan jejaknya. Dio sempat membuat perhitungan dengan Bobby yang menjadi dalang terjadinya bencana ini. Ia benar-benar marah sekali karena telah berhasil dikerjai dan dibodohi oleh orang-orang yang tidak menyukai dirinya. Apa salahnya sampai ia harus mengalami musibah ini? Ia bahkan belum jujur kepada orang tuanya. Ia tak sanggup akan reaksi mereka nanti saat mendengarnya. Anak lelaki yang selama ini mereka banggakan dan harapan mereka satu-satunya telah melemparkan kotoran ke wajah mereka tanpa mereka sadari. Ia merasa menjadi anak yang paling durhaka sekarang. Ia juga memikirkan nasib gadis itu. Bagaimana kalau gadis itu mengandung anaknya? Dio baru memikirkan hal itu sekarang. Ia tak bisa membiarkannya menanggung bebannya sendirian. Ia harus bertanggung jawab jika seandainya gadis itu sampai hamil. Ia hanya bisa berharap, jika benar gadis itu sampai mengandung anaknya, dia tidak berniat untuk menggugurkannya. Ia berharap anaknya diberi kesempatan untuk hidup sampai tiba waktunya ia bisa menemukan mereka. Saat itu tiba, ia berjanji akan membawa mereka dan mengikatnya secara resmi untuk menjadi sebuah keluarga yang utuh. Ia ingin anaknya nanti memiliki kedua orang tua yang lengkap dan bersatu.
"Dio...." Dio menolehkan wajahnya pada ibunya yang memandangnya heran.
"Kenapa kamu melamun terus dari tadi? Itu dimakan makanannya." Dio mengalihkan pandangannya pada sepiring nasi goreng di depannya. Ia hanya mengangguk dan kembali menyuap makanannya meski ia sedang tak berselera saat ini. Biasanya masakan ibunya selalu menjadi favoritnya dan membuatnya selalu menambah. Tapi masalah yang membuatnya begitu stress sekarang membuatnya menjadi tidak bergairah karena masalah ini belum di selesaikannya. Ini menyangkut tentang masa depan seorang perempuan dan juga dirinya yang masih panjang.
"Apa kamu sudah yakin akan kuliah di Yogyakarta?" tanya Yadi. Dio mengangguk.
"Iya, Pak. Aku sudah berencana akan kuliah di sana. Alhamdulillah, aku sudah diterima di sana lewat jalur prestasi." Yadi dan Ningrum tersenyum. Mereka bangga dengan keberhasilan putra mereka.
"Kamu tinggal di rumah nenek ya nanti?! Jadi biaya hidup kamu tidak terlalu berat. Kapan kamu akan berangkat ke sana?" tanya Ningrum.
"Sekitar dua minggu lagi, Bu."
"Nanti Ibu beli oleh-oleh buat keluarga di sana. Kamu jaga diri ya baik-baik! Kuliah yang bener dan jangan sampai keganggu sama hal-hal lain." Dio tersenyum tipis dan mengangguk. Hatinya semakin teriris saat melihat wajah penuh harap kedua orang tuanya. Apa ia tega untuk menghancurkan kebahagiaan mereka akan keberhasilan dirinya dengan jujur tentang aib ini? Dio merasa ragu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengakuinya setelah ia mendapatkan gadis yang ia cari itu. Ia akan mengakui semuanya di hadapan mereka nanti dan bersiap akan segala kemungkinan terburuk yang akan didapatnya nanti. Ini adalah resiko yang harus ia tanggung dari apa yang sudah ia perbuat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Red In The Silence
RomanceSejak pertama masuk SMA, Viona memendam sebuah rasa kepada teman sekolahnya, Dio. Mengamati dan mengagumi dalam diam meski sang pujaan hati tak pernah melihatnya. Mencoba bertahan menjadi sosok tak terlihat, dekat tapi seakan jauh untuk tergapai. Hi...