18. It's Not A Dream

5.1K 276 4
                                    

Senyum lebar terbit dari bibir Viona saat melihat putranya antusias ketika ia mengatakan bahwa hari ini mereka akan jalan-jalan. Arvi jarang bermain bahkan dengan tetangganya sendiri, dan bocah itu lebih sering menghabiskan waktunya dengan membaca segudang buku yang dibelikannya di rumah, hobi yang diturunkan oleh Dio. Arvi sudah siap dengan kemeja pendek dan celana selututnya lengkap dengan sabuknya.

"Kita jalan-jalannya sama Tante Ila dan Dedek Liana ya, Ma?" tanyanya. Viona mengangguk.

"Iya, sayang. Kita jalan-jalan sama mereka." Arvi tersenyum lebar.

"Holeee!!" serunya senang. Viona hanya tertawa.

"Yuk, sayang! Tante Ira udah nunggu di luar." Arvi mengangguk. Lalu, ibu dan anak itu keluar dari kamar mereka. Dilihatnya Ira yang sudah menunggu di ruang tamu dengan putrinya yang baru berusia 1 tahun lebih.

"Dedek Liana!" serunya sambil berlari menghampiri bayi cantik dan gembil itu. Ia mencium gemas pipi chubby-nya. Bayi itu hanya tertawa kegelian. Ira dan Viona ikut tertawa.

"Yuk! Berangkat sekarang." ajak Ira sambil menggendong putrinya. Viona mengangguk dan mereka berjalan keluar menuju garasi.

Viona mengemudikan mobilnya menuju keluar gerbang rumahnya. Sesekali Ira mengelap pelipis putrinya yang berkeringat.

"Bosen Vi di rumah. Kesel nunggu Mas Rafli pulang. Liana juga butuh interaksi dengan lingkungan sekitarnya." Viona mengangguk sambil matanya tetap fokus ke depan.

"Iya. Stress juga ngurung diri di rumah terus, Kak. Eh, tapi Kakak udah bilang sama Mas Rafli kalau Kakak keluar?" Ira mengangguk.

"Iya. Awalnya dia gak ngizinin. Katanya dia takut terjadi apa-apa karena aku lagi hamil dan sambil bawa Liana juga. Aku bilang bosen dan gak lama. Setelah aku bujuk, akhirnya dia ngizinin." jelasnya. Viona hanya mengangguk. Sungguh beruntung kakaknya yang mendapat suami yang begitu perhatian padanya dan mencintainya. Berbanding terbalik dengannya yang mengandung putranya dan membesarkannya seorang diri tanpa ayah kandungnya tahu jika anak mereka ada. Mengingat itu Viona menjadi sedih. Suara lagu yang mengalun dari arah dashboard mobil menyela percakapan di antara mereka.

Setelah lumayan lama menembus kemacetan, akhirnya mereka sampai di sebuah pusat perbelanjaan. Viona memarkirkan mobilnya di tempat parkiran yang sudah penuh. Mereka turun dari mobil dan berjalan menuju mall.

"Jangan lari-lari! Nanti jatoh." tegur Viona sambil menarik lengan putranya yang terlalu bersemangat ingin cepat-cepat sampai ke dalam mall. Bocah itu hanya mengangguk. Viona menggengam erat tangan mungil putranya supaya bocah itu tidak lepas dari jangkauannya. Mereka masuk ke dalam. Arvi sudah bersemangat ingin langsung ke tempat permainan di lantai atas. Mereka langsung saja naik ke lantai atas menuju tempat bermain anak. Toh, tujuan mereka kemari untuk mengajak mereka jalan-jalan supaya tidak jenuh di rumah dan untuk mengisi liburan akhir pekan seperti biasa. Saat tiba di area bermain anak, Arvi langsung berlari ke dalam dan memilih-milih berbagai permainan yang akan dimainkannya nanti. Viona hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya. Ia berjalan menuju penjaga untuk membeli koin. Ia menghampiri putranya yang sudah berada di tempat mobil-mobilan.

"Ma, aku pengen maen balap mobil!" ucapnya sambil menunjuk area permainan balap mobil. Viona hanya mengangguk.

"Iya. Hati-hati!" Arvi langsung naik ke mobil-mobilan yang sudah disiapkan oleh penjaga. Bocah itu begitu senang menikmati aktivitasnya. Viona hanya tersenyum. Apa pun akan ia lakukan demi terus melihat binar kebahagiaan di mata putranya. Ia kembali menghampiri kakaknya yang sedang menunggu di kursi tunggu di sana. Ia menjatuhkan dirinya di samping kakaknya.

Red In The SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang