Sudah sebulan ini Viona menjadi mahasiswi. Ia begitu semangat menjalani hari-harinya sebagai pelajar di perguruan tinggi. Dan selama sebulan ini juga ia berusaha untuk mencari pekerjaan. Hidupnya tak sendiri lagi sekarang. Ada nyawa lain yang menggantungkan hidup padanya. Uang kiriman dari orang tuanya hanya untuk keperluan kuliahnya dan sehari-harinya saja karena jelas mereka tak tahu kalau ia sedang mengandung. Ia memikirkan untuk biaya kelahiran anaknya nanti dan juga setelah bayinya lahir. Tentu saja pengeluarannya tak sedikit. Ia dan Debora sudah mencari pekerjaan ke mana-mana, namun sampai sekarang belum ada hasilnya. Ia terus berdo'a dan berusaha agar Tuhan dapat membantunya saat ini. Ia benar-benar butuh pekerjaan untuk kehidupannya dan anaknya ke depannya. Ia mengamati dress motif batik di bawah lutut yang agak longgar. Perutnya sudah terlihat sedikit membuncit dan tubuhnya semakin berisi di beberapa tempat. Ia mengelus perutnya.
"Udah kelihatan menonjol ya, Deb?" tanyanya kepada Debora yang sedang membuka buku-buku yang tergeletak di atas ranjang Viona. Ia menolehkan wajahnya pada Viona dan melirik perutnya. Ia mengangguk.
"Iya. Apa teman-temanmu sudah tahu? Perutmu kelihatan seperti wanita hamil pada umumnya." Viona mengangguk.
"Hanya teman dekatku. Aku bilang saja kalau aku sudah menikah dan suamiku meninggal karena kecelakaan. Tepat dugaanku, mereka sangat kaget mendengar pengakuanku. Aku hanya bisa bilang itu untuk menutupi semuanya." Debora menggelengkan kepalanya.
"Apa itu tidak berlebihan, Vi?" Viona menolehkan wajahnya pada Debora. Ia terdiam sejenak. Apa ia sudah keterlaluan dengan pengakuan palsunya? Ia sama sekali tidak bermaksud untuk menolak Dio sebagai ayah dari bayi yang dikandungnya. Tapi ia juga tak mungkin untuk mengatakan Dio sebagai suaminya karena mereka memang belum menikah.
"Aku tak punya alasan lain lagi, Deb. Aku hanya tak ingin mereka berpikir yang bukan-bukan tentangku. Kamu pasti paham kan posisiku?" Debora terdiam sejenak. Ia mengerti dengan Viona saat ini. Gadis itu benar-benar tertekan dengan keadaannya.
"Iya, aku mengerti. Jangan terlalu dipikirkan! Oh iya, aku punya kabar baik untuk kita." Viona menatap Debora serius. Gadis itu tersenyum.
"Ada info lowongan pekerjaan untuk kita. Aku menanya-nanya tentang info lowongan pekerjaan kepada teman-temanku, kebetulan ada salah satu temanku yang menawariku pekerjaan. Dia mempunyai bisnis restoran dengan kakaknya." wajah Viona langsung berbinar begitu mendengar penjelasan Debora.
"Benarkah?" Debora mengangguk.
"Iya. Kebetulan restorannya baru berjalan beberapa bulan dan banyak pelanggannya. Dia masih membutuhkan karyawan di sana." Viona tersenyum.
"Aku bersedia untuk bekerja di sana. Bagaimana denganmu?" Debora mengangguk.
"Aku juga setuju. Nanti kita akan bertemu dengannya di kampus. Dia teman satu fakultas denganku." Viona mengangguk.
"Baiklah. Menjadi pelayan restoran aku rasa tidak terlalu berat untukku dan juga tidak akan mengganggu kuliah." Debora mengangguk. Pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan ia rasa cocok untuk mereka yang masih terikat dengan kontrak pendidikan.
***
Jam kuliah Viona baru bubar siang ini. Debora bilang kalau jam kuliahnya akan selesai sekitar satu jam lagi. Ia tak sabar untuk segera menunggu pertemuan dengan orang yang akan memberikan mereka pekerjaan. Ia membereskan peralatan tulisnya dan beranjak dari kursinya.
"Viona, apa kamu mau ikut kami jalan-jalan dulu? Waktu kita masih banyak untuk bebas." ajak seorang gadis berambut panjang. Viona menolehkan wajahnya dan tersenyum. Ia menggeleng.
"Enggak, Kir. Aku dan Debora ada janji untuk bertemu orang yang menawari kami pekerjaan. Kalian saja."
"Siapa?" tanya gadis yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red In The Silence
RomanceSejak pertama masuk SMA, Viona memendam sebuah rasa kepada teman sekolahnya, Dio. Mengamati dan mengagumi dalam diam meski sang pujaan hati tak pernah melihatnya. Mencoba bertahan menjadi sosok tak terlihat, dekat tapi seakan jauh untuk tergapai. Hi...