21. Terperangkap

5.6K 311 1
                                    

Nasi sudah menjadi bubur. Viona tak bisa mengajukan pengunduran diri begitu saja disaat perusahaan sudah menerimanya. Ia bisa dituntut atau membayar denda kalau ia sampai memutuskan untuk keluar sebelum ia bekerja sama sekali. Akhirnya, ia pasrah untuk menghabiskan hari-harinya di sana dengan kemungkinan bertemu kembali dengan lelaki itu dengan intensitas yang sering. Itu sudah pasti. Ia mencoba untuk tidak menjadi pengecut lagi dengan berlari dari kenyataan yang ada. Ia keluar kamar sambil menenteng tasnya dan berjalan menuruni tangga untuk bergabung dengan keluarganya yang sudah menunggu di meja makan. Ia mengambil duduk di sebelah putranya yang sudah datang terlebih dahulu. Arvi belum mengisi piringnya karena menunggu sang mama yang melakukannya. Viona mengambil piring putranya dan langsung mengisinya dengan nasi goreng sayur, lalu menyerahkannya kepada putranya. Ia pun mengambil untuk dirinya sendiri. Mereka mulai makan dalam diam.

"Apa kamu merasa nyaman di kantor itu?" tanya Nathan sambil menyuap makanannya. Viona menoleh sejenak.

"Aku belum tahu, Yah. Semoga saja aku bertahan lama di sana." bohong jika Viona akan merasa nyaman. Yang ada ia akan selalu gelisah setiap hari karena bertemu dengan lelaki itu, apalagi melihatnya bersama dengan wanita lain. Arggghhh... Viona benar-benar menemui jalan buntu. Nathan hanya mengangguk.

Setelah sarapan selesai, mereka pamit untuk menunaikan tugas masing-masing. Hanya tersisa Alika sendiri di rumah. Viona bersama dengan putranya dan ayah serta adiknya berjalan menuju garasi. Mereka memiliki kendaraan masing-masing. Viona dan putranya naik ke mobilnya. Ayahnya naik ke mobilnya sendiri, dan Nino yang selalu menaiki motor Ninja-nya ke mana pun ia pergi. Mereka berpisah setelah keluar dari gerbang rumah. Viona melajukan mobilnya menuju sekolah putranya seperti biasa sebelum ia berangkat berkerja. Jalanan tiap pagi seperti biasa selalu macet. Untuk itu, mereka selalu menyempatkan diri untuk berangkat pagi agar tidak kesiangan. Setelah mobilnya sampai di depan gerbang sekolah, ia melepas sabuk pengaman di tubuh putranya. Arvi menyalami punggung tangan mamanya dan Viona mendekatkan wajahnya untuk mencium kening putranya seperti kebiasaannya setiap akan berpisah.

"Belajar yang rajin dan semangat ya, sayang! Jangan lupa bekal makannya! Mama sayang banget sama kamu." bocah itu tersenyum.

"Alvi juga sayang Mama. Assalamualaikum." pamitnya sambil membuka pintu mobil.

"Walaikumsalam." jawab Viona. Ia memandang putranya yang sudah berjalan masuk ke dalam sekolahnya. Setelah memastikan putranya masuk dengan aman sampai dalam, ia segera melajukan mobilnya dari sana untuk menuju kantornya.

Kantor sudah ramai pagi ini. Viona melenggang menuju lift bersama karyawan lainnya. Untung ia segera sigap masuk agar ia tidak ketinggalan. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai karyawati di sini, dan ia tak mau dicap tidak disiplin di hari pertamanya bekerja serta mempermalukan dirinya sendiri. Viona merasa ada yang memperhatikannya. Ia menoleh ke samping dan tepat, mata beningnya kembali bertemu dengan manik hitam itu yang sedang menatapnya intens. Jantungnya langsung berdegup tidak normal. Tubuhnya menegang. Mengapa ia selalu bertemu kembali dengannya secara tak terduga? Apa ini disengaja? Ia tak menyadari bahwa dia juga ada di sana karena saat masuk ia tak peduli akan siapa-siapa saja didalam lift itu. Ia hanya ingin cepat sampai ke ruangan tempatnya bekerja tanpa terlambat. Ia langsung memalingkan wajahnya yang terasa memerah dan panas. Tubuhnya semakin gemetar kala merasakan lelaki itu mendekatkan wajahnya ke telinganya dan berbisik.

"Senang bertemu denganmu lagi, Viona." mata Viona langsung membulat. Dari mana lelaki itu tahu namanya? Ia langsung menolehkan wajahnya kembali pada lelaki itu. Ada kilatan jahil di matanya dan sumpah demi apa pun di dunia ini, ia serasa meleleh bagai coklat kala melihat senyum lelaki itu untuk pertama kalinya padanya. Jantungnya seakan ingin meloncat saja dari dadanya saking tak percaya sekaligus terpesona dengan apa yang dilihatnya. Sepanjang sejarah ia menyukainya sejak dari SMA, baru kali ini ia melihat senyuman manis itu untuknya. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus saja. Ia kembali memalingkan wajahnya dan mencoba untuk tidak salah tingkah. Ia tak mau jika rasa itu semakin mendesak untuk meluap dan membuatnya kecewa kembali dengan meninggalkan harapan semu dan angan-angan tak berujung yang jujur membuatnya muak dan lelah akan penantian itu, penantian tentang perasaan lelaki itu padanya yang entah ada untuknya atau tidak.

Red In The SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang