Hari yang tak pernah disangka dalam hidupnya akan datang, bersanding di pelaminan dengan lelaki yang menjadi cinta pertama adalah impian setiap orang pastinya. Viona berbahagia karena merasa apa yang ia inginkan dengan takdir Tuhan sejalan. Rasanya masih seperti mimpi bahwa ia sudah resmi menjadi Nyonya Dio beberapa jam yang lalu. Pernikahan yang diadakan secara sederhana tanpa resepsi mewah dan hanya syukuran ala kadarnya yang mengundang saudara dan beberapa kerabat dekat. Baginya, yang penting mereka sah di mata hukum dan agama. Meski Dio menawarkannya untuk resepsi, tapi Viona menolaknya secara halus dengan alasan belum waktunya karena hubungan di antara mereka yang bermasalah sebelumnya. Dio bisa memahami hal itu, tapi ia berjanji suatu hari nanti akan membuat pesta resepsi pernikahan mereka untuk memberitahukan kepada semua orang jika Viona adalah istrinya. Hari ini juga Dio memutuskan untuk langsung membawa Viona dan putra mereka ke rumah yang ditinggalinya sekarang sendiri. Ia memang tinggal terpisah dengan orang tuanya di rumah yang sengaja dibelinya untuk keluarganya nanti jika sudah menikah. Viona masih betah memeluk sang bunda yang sedang terisak karena tak rela melepas kepergian putrinya itu.
"Gak bisa ditunda ya pulangnya? Bunda masih kangen kamu, sayang." Viona tersenyum sembari mengusap air matanya.
"Vio kan udah punya kewajiban, Bun. Bukannya aku gak pengen." ucapnya tidak enak. Ia melirik Dio sekilas yang hanya tersenyum tipis ke arahnya. Alika masih terisak di bahu putrinya. Ibu mana yang langsung ikhlas begitu saja melepas putrinya meski kepada suaminya yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Mau tak mau, ia harus menerimanya.
"Berbahagialah dengan Dio, Nak. Jangan ada air mata lagi! Kasih Arvi adik segera." ucapnya mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. Viona tertawa.
"Hahaha... Baru juga sah tadi. Bunda tenang aja, kami akan berusaha untuk membuat kalian bahagia. Do'akan kami selalu, Bun." Alika mengangguk. Viona menatap ibu mertuanya dan menghampirinya. Wanita paruh baya itu langsung meraihnya ke dalam pelukannya.
"Ibu titip Dio sama kamu, ya! Percayalah, Dio pasti bisa menjaga dan melindungi kamu. Dia adalah lelaki yang bertanggung jawab." Viona mengangguk. Ia percaya jika Dio bisa diandalkan untuk menjaga hati maupun kepercayaannya meski ia tak tahu apa yang terjadi ke depannya. Tapi percaya dengan suaminya adalah hal terbaik yang mesti ia lakukan sekarang untuk memulai hubungan yang sebenarnya.
"Insyaallah, Bu. Do'akan kami." Ningrum mengangguk. Viona mendekati kakaknya yang sedang menggendong bayinya.
"Kakak... Gak kerasa ya kita sudah punya kehidupan masing-masing? Serasa baru kemaren kita maen bareng-bareng sama Kak Ian di taman belakang, gak kerasa udah dewasa dan punya anak lagi." ucapnya sambil tertawa pelan. Ira ikut tertawa, namun ada air mata yang menetes dari matanya.
"Kamu harus janji untuk bahagia setelah ini! Kamu juga janji kalau kita bakalan sering kumpul sama Ayah, Bunda, Kak Ian sama Nino." Viona tersenyum dan mengangguk.
"Pasti, Kak." ia menatap bayi mungil yang sedang terlelap dalam gendongan kakaknya. Ia tersenyum.
"Felly cantik dan imut banget, Kak. Aku juga pengen anak cewek selucu ini." Ira tertawa.
"Cepetan bikin sama suami kamu. Kan sekarang gak perlu bingung kalau mau punya, udah ada pasangannya." Viona tertawa dengan wajah tersipu.
"Bunda...." Viona dan Ira menolehkan wajahnya kepada lelaki yang sedang mendekati mereka diikuti oleh Arvi. Ira tersenyum.
"Liana di mana, Yah?" tanya Ira kepada suaminya. Rafli, suami Ira menolehkan wajahnya ke belakang.
"Lagi sama Bunda. Dia abis ngamuk barusan." Ira menghela nafasnya.
"Liana suka rewel Vi semenjak dia punya adik. Aku kewalahan kalau gak ada ayahnya." jelasnya kepada Viona.
"Karena dia punya adik masih kecil, jadi dia merasa kesaingi sama adiknya mungkin." Ira hanya mengangguk.
![](https://img.wattpad.com/cover/146572887-288-k731067.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Red In The Silence
RomansaSejak pertama masuk SMA, Viona memendam sebuah rasa kepada teman sekolahnya, Dio. Mengamati dan mengagumi dalam diam meski sang pujaan hati tak pernah melihatnya. Mencoba bertahan menjadi sosok tak terlihat, dekat tapi seakan jauh untuk tergapai. Hi...