Éviter et Reconnaître -1-

1.4K 96 7
                                    

Happy reading! 💓

Don't forget to tap the star! ★★★♥
...

Georgia menolehkan wajahnya sembari mengembangkan senyuman di sebelah kiri wajahnya. "Mereka satu-satunya keluargaku."

"Oh... maafkan aku." Karl merengut sedih.

"Tak apa," Georgia menyelipkan rambutnya ke telinganya dengan perlahan. Jari kukunya pendek, rapi dan terawat meskipun pekerjaannya mengurusi tanah, tanaman dan kebun.

"Sebaiknya kau mengurangi kebiasaan buruk ini. Kau harus mencari alternatif lain untuk menghabiskan waktu seperti ini, Karl."

"Maafkan aku, Georgia." Karl menunduk menatap air, alisnya bertaut sedih. Karl seharusnya ingat detail percakapan singkat mereka saat mereka berada di pemakaman sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Sacramento. Georgia jelas berkata, dia telah kehilangan kedua orangtuanya.

Atau mungkin, Karl sama sekali tak menaruh perhatian untuk itu.

"Maaf?"

Georgia tersenyum dan terkekeh kecil. Seolah menggambarkan, untuk apa maaf jika semuanya tak akan berubah melalui kata maaf saja. Lagi pula, Georgia sudah terbiasa dengan keadaannya saat ini.

"Ya...," Balas Karl dengan suara rendahnya yang tertahan. Ia memilih tak peduli pada perkataan Georgia yang menyarankannya agar berhenti, berhenti minum-minum.

"Georgia... aku merasa sangat tak bersahabat sejak pertama kau berada di sini. Dan itu... sangat bodoh. Sangat skeptik. Maafkan aku."

Hati Georgia sedikit berdesir sakit hati. Bukan karena perlakuan yang Karl maksud terhadapnya. Itu karena, Georgia takut apabila ia tahu bahwa Karl sebaik dan selembut ini, ia akan jatuh cinta. Bukan akan, tetapi Georgia memang telah dianugerahi perasaan semacam itu. Detik ini. Maka dari itu, Georgia takut apabila perasaannya akan tumbuh subur di setiap harinya dan tiba-tiba membuat kekacauan besar yang dapat membunuh Georgia dengan sejuta rasa malu dan hina di pundaknya.

"Tak apa, Karl. Anna sudah memperingatiku sejak awal." Georgia tertawa pelan. Mencoba melupakan ide yang baru saja datang tentang jatuh cinta pada Karl.

Karl pun tersenyum samar dan mengangguk lemah. Kemudian pria itu meniupkan napasnya, berkeluh panjang. "Ah... aku merindukan Irina... sangat."

Tertusuk. Hati Georgia tertusuk. Inikah sebuah pelajaran dalam menyukai dan mengagumi seseorang yang sudah berhubungan?

Ingin sekali Georgia mengejek dirinya sendiri.

Lihat?

Bukankah apa yang dipikirkannya beberapa menit lalu langsung terbukti?

"Kalau boleh ku tahu, apa Irina sudah bekerja? Apa dia seorang model?" Georgia mencari cara keluar dari belenggu persoalan jatuh cinta yang menguasai pikirannya.

Karl mengangguk pelan, "Ya, dia seorang model. Bibi Keira dan Irina sering terlibat dalam proyek yang sama. Bahkan mereka sering menghabiskan waktu bersama."

Georgia tersenyum manis, "Bibi Keira... dia cantik sekali. Dia seorang wanita karir yang mengagumkan. Keduanya." Georgia berdecak kagum sembari memandangi riak air. Keduanya? Mungkin Georgia bermaksud untuk sopan. Pada kenyataannya, rasa iri mengalahkan rasa kagumnya terhadap Irina.

Tapi, dia memang arogan. Pikir Georgia, teringat perkataan Anna waktu itu, sesaat sebelum Georgia mengantarkan dua cangkir teh untuk Karl dan Irina.

"Sekarang keduanya mungkin sedang menginap bersama di Paris atau Lyon."

"Ah, Paris...," Georgia mencari celah agar obrolan mereka bisa bertahan lebih lama. Meskipun itu hanya basa-basi untuk memperpanjang obrolan, Georgia memang mengagumi Paris. Tapi tak lebih besar dari rasa kekagumannya pada Karl.

"Aku sangat ingin berkunjung ke sana. Aku senang mendengarkan dialog mereka." Tambah Georgia setenang mungkin. Apa jadinya jika Georgia berbicara terlalu cepat. Bukankah itu akan mengundang rasa curiga Karl?

Karl meneguk kembali scotch-nya, lalu ia memperagakan bagaimana orang Perancis mengucapkan huruf R dalam setiap katanya. Tawa Georgia pecah ketika Karl gagal menyamai mereka. Karl tertawa terbahak-bahak menertawakan guyonannya sendiri. Georgia malah tertawa bahagia melihat Karl tenggelam sejenak dalam kebahagiannya. Bukan semata-mata karena guyonan ejaan huruf R dalam Perancis.

Aku senang bisa melihat Karl tersenyum dan tertawa seperti ini. Denganku. Batin Georgia seraya memandangi Karl yang mengucek matanya menghapus airmata.

.
.
.

Georgia memapah Karl menuju tempat tidurnya. Karl menangis lirih di setiap langkahnya. Menangisi kerinduannya yang amat sangat besar pada Irina. Georgia kian tercabik-cabik. Bagaimana bisa perasaan yang menurutnya aneh bisa datang dan hadir secepat ini.

"Berbaringlah, Karl." Georgia membantu Karl berbaring. Georgia membuang napasnya dengan berat. Tenggorokan yang ia rasakan sakit, adalah sebuah gejala bahwa Georgia sedang ingin menangis. Mencurahkan emosinya.

Georgia melepaskan sepasang sepatu yang Karl kenakan. Juga membantu menyelimuti Karl dan membenahi posisi bantalnya. Karl masih menangis ketika Georgia menyelesaikan urusannya, merapikan tempat tidur agar Karl merasa cukup nyaman dan hangat. Georgia mengangkat tangannya, berniat untuk mengusap lembut kepala Karl dan menyingkirkan bulir bening yang mengucur di pipinya.

Namun semuanya terasa bodoh dan sia-sia. Georgia urung melakukannya, ia mendengus pelan dengan embusan putus asa, merasa benar-benar bodoh dan konyol. Georgia mengacak-acak poninya dan lekas mematikan lampu kamar Karl menyisakan cahaya temaram dari lampu meja di samping tempat tidur Karl. Gorden kamar sudah tertutup rapat, bagian paling bawah gorden berhembus kecil tertiup angin dari balkon.

Georgia melenggang pergi dari kamar Karl. Ia berhenti di ambang pintu, memutar tubuhnya dan melihat Karl tersedu dalam keadaan mabuk. Karl mendekap erat salah satu gulingnya. Tak butuh waktu lama bagi Karl untuk terlelap. Pria itu sudah mendengkur saja, setelah cukup lelah menangisi Irina.

"Karl." Lirih Georgia panjang seraya menutup pintu kamar Karl perlahan. Georgia merapalkan do'anya. Semoga hanya dalam keadaan mabuk saja Karl menjadi sebaik tadi padanya. Sisanya, biarkan saja --seperti biasa-- dingin dan acuh.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang