Mutterseelenallein -4-

1K 68 8
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Ketika Charles menyebutkan namanya, rasanya hatiku kian menyempit dan semakin kecil dengan menyebarkan rasa hampanya. Dan di malam ini, aku sedang bersenang-senang dengan muramku. Ada perasaan yang bahkan aku tak mampu menjelaskannya. Setiap denyut dadaku terasa sakit dan remai. Aku hanya ingin bersendiri, merenung dengan semua perasaan karutku. Duduk di tepi ranjang seraya menyelami langit malam biru yang sedikitnya membuatku damai.

Langit biru...

Atau dengan segudang perasaan yang berapi-api di dalam tubuhku. Kukatakan lagi kemudian, aku tak mampu mendeskripsikannya. Seperti meluap-luap sampai membuatku hendak berdiam diri saja melamunkan semuanya. Seperti, campuran perasaan lega dan tenang. Sepi lalu senyap kemudian damai, malam biru mengantarku menjelajah ke dalam rentang waktu enam tahun yang lalu. Malam biru membawaku ke sana, dengan semua perasaan ini.

Enam tahun sudah aku mencari sesuatu yang hilang dariku. Entah ia melakukan yang sama atau tidak, saat ini aku tak mau peduli. Itulah yang aku katakan agar aku tak terlalu patah hati ketika mengetahui bahwa kehidupannya sama sekali baik-baik saja tanpa mencariku. Namun masih saja, ada secercah asa yang tertinggal ---memanggil namanya pada setiap kesempatan. Suara-suara yang kerap kali terdengar, membujukku untuk mencari keberadaannya. Dan aku ---yang bahkan sadar sesekali menuruti maunya. Sampai saat ini, aku tahu apa yang ia kerjakan, bagaimana kehidupannya berjalan dan sesuatu semacam itu. Aku hanya sampai pada tujuan, oh, aku hanya mengetahui bahwa ia baik-baik saja.

Ada semacam kesulitan untuk menemukannya. Bahkan, berbagai hambatan lain kutemukan ketika aku hendak menggali informasi lebih jauh. Di beberapa media dikatakan, pria itu benar-benar tertutup. Seharusnya aku tak heran, ia memang pria yang sederhana dan dipenuhi misteri.

Aku tahu mengapa aku  merasa marah ketika mendengar namanya. Pembicaraan terakhir  kami tidak memberikan kesan yang baik untukku. Itu merupakan hal yang masuk dalam deretan pengalaman paling kejam yang pernah ku alami selama dua puluh lima tahun seumur hidupku. Mungkin, kalian bisa menyebutku bodoh dan kekanak-kanakan. Karena aku memang sedang mengakuinya. Jika seseorang bertanya, apa aku bahagia bisa mendapatkan kesempatan untuk kembali bertatapan secara langsung dengannya?

Ayolah, enam tahun? Aku tak pernah main-main dengan perasaan. Ketika satu hal sangat membuatku terkait padanya, aku akan selalu mengingatnya. Dan enam tahun adalah waktu yang lebih dari cukup. Ia pernah membuatku seperti, ya Tuhan aku memiliki keluarga baru. Dirinya, Anna, Steve, Marcel, Andreas, mereka memberikanku semangat baru. Mereka menengakkan kembali daguku untuk menantang dunia. Dan... untuk bertemu dengan salah satu dari mereka, aku akui jika aku akan sangat gembira.

Lalu, mungkin pertanyaan ini akan muncul. Apa kau tak marah padanya?

Jelas aku marah padanya, karena ia menerbangkanku sampai ke atas awan lalu menjatuhkanku begitu saja. Namun aku lebih marah pada diriku sendiri. Aku seperti gadis bodoh yang lebih mendengarkan impulsku dari pada logikaku. Aku marah, karena pada akhirnya aku harus melibatkan perasaanku lebih jauh dalam kehidupannya. Kuanalogikan, bahwa seandainya ia adalah sebuah samudera. Dalam, dingin dan dipenuhi misteri. Dan aku adalah seorang gadis dengan deraian keringatnya yang berenang terlalu dalam. Aku yakin kalau saja aku terus menutupi perasaanku, lalu menguburnya dalam-dalam, semuanya takkan pernah berjalan seperti sekarang.

"Kurt," ku usap bulu Kurt yang seputih awan. Ia sudah tertidur di sampingku. Kuberikan senyuman, sebenarnya tak kuberikan untuk siapapun di kamarku. Toh, tak ada yang peduli. "Kurt Hartmann."

Aku selalu berpikir, aku adalah seorang wanita yang ingin hidup dengan sebuah kedamaian dalam hati dan pikiranku. Aku tak mau hidup membusuk dengan membawa rasa dendam atau semacamnya. Memang, aku paham, hidup tak melulu menyenangkan. Semesta memang senang bergurau kadang kala. Kali ini, mungkin saja alam sedang memainkan guyonannya. Kita lihat saja nanti. Di saat aku pasrah akan semua beban yang menimpaku, bukan berarti aku menyerah. Aku akan menerima segala cobaan dan mencoba melaluinya dengan dada yang busung dan pundak yang tegas. Aku sepertinya memang akan selalu seperti itu.

Namun, aku juga manusia. Aku juga terbuat dari api, yang kemudian memberiku nafsu dan amarah.

.
.
.

Charles dan Ethan menyesap rokok mereka. Kami bertiga sudah berada di sebuah kafe yang berada di Downtown. Ethan membuka buku sketsanya ---sudah ku duga bahwa ia mendapatkan model yang bagus. Ya, aku bisa melihat matanya tertuju pada seorang wanita berambut cokelat terangnya ---yang duduk di meja sudut kafe. Charles masih menekuri beberapa katalog pameran dan tak lupa, rokoknya. Mungkin, di antara mereka dan semua orang yang ada di sini, hanya jantungku saja yang berdebar dengan detak yang tak jelas kecepatannya. Sungguh memalukan, bukan? Hatiku yang paling dalam, tengah merasakan emosi yang meluap-luap ---sebuah amarah yang sudah lama kupenjarakan. Kali ini aku terdengar sangat munafik, bukan? Apalah dayaku, aku hanya seorang manusia ku bilang.

Aku mengusap kepala Kurt yang sedang memandangiku seraya menggoyang-goyangkan ekornya. "Hey, big boy."

Tanganku bergetar, aku memutuskan untuk pergi ke toilet untuk beberapa menit. "Charles, aku pergi seb-"

"Charles!" pekik seseorang dari kejauhan.

Charles menolehkan kepalanya dengan cepat dan ia terlihat begitu semangat. "Itu dia!"

Ethan melambai-lambaikan kedua tangannya. "Di sini, Karl!"

Ah, ternyata dia sudah sampai.

Aku hanya bisa mematung saat itu. Bersabarlah, aku tak akan meledak saat ini juga. Tidak, tidak akan. Entah bagaimana caranya, pandangan mataku kian samar. Kabut yang menebal menghalangiku. Aku menunduk sebentar untuk menyingkirkan airmataku. Aku berdiri ketika Karl sampai di meja kami. Ethan dan Charles memeluknya dengan erat. Mereka saling menggoyangkan pelukan mereka ke kiri dan ke kanan. Aku memutar pandanganku, kenapa aku merasa begitu marah melihat senyuman di wajahnya? Ia terlihat baik-baik saja dengan semuanya.

Karl melirikku dengan perlahan. Senyuman masih membingkai di wajahnya. Sementara dadaku berdegap lebih kencang, Karl terlihat amat sangat tenang untuk menjabat tanganku. "Hai, Karl Hartmann."

Aku membuang napasku sekaligus, seolah mereka sudah tertimbun di rongga dadaku selama enam tahun lamanya. Membuat dadaku sakit akan tekanannya. Tanganku begerak perlahan menyambut jabatan tangannya. "Georgia Whiteley."

Aku melihat Karl memberikan tatapannya untuk rambutku. Selagi ia menjabat tanganku, kami bertukar sebuah cerita melalui kilatan di mata kami. Kenapa aku begitu marah sekaligus lega ketika akhirnya mataku menemukan kembali mata indah dengan manik gelapnya itu. Kenapa aku begitu marah sekaligus lega ketika akhirnya aku merasakan sentuhannya. Semua sel di tubuhku meronta, mengemis untuk meraih pundak lebarnya dan mengaitkan kedua lenganku, mendekapnya?

Begitu pula Kurt, ia berjingkrak-jingkrak. Rupanya, kuatnya memori seekor anjing pada tuannya bukanlah sebuah cerita yang direkayasa belaka. Karl memeluk Kurt dengan erat, memanjakan Kurt semampunya. Charles dan Ethan tertawa dengan tatapan heran mereka. Namun mereka bahkan tak berniat untuk bertanya mengenai apapun.

"Kurt, kemari... jangan seperti itu." Aku mencoba mengambil Kurt darinya, namun Kurt menggonggong padaku.

"Tak apa, tak apa." Karl tertawa pelan seraya menempelkan keningnya di antara kepala Kurt.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang