Burn Your Bridges -3-

876 65 15
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Georgia menabrakkan kepalanya di dinding kamarnya---di dinding yang membatasi dunianya dengan dunia Karl. Di sana, Georgia berdiri dengan kedua kaki yang terasa lesu tak bertenaga. Sore tadi, Georgia tak bergabung untuk makan bersama. Rasanya, berat baginya untuk duduk kembali berhadapan bersama mereka. Melihat cincin yang tersemat di jemari keduanya. Georgia berpikir bahwa dia tidak ditakdirkan untuk mengisi perut sekaligus mengeluarkan airmata. Itu tidak etis sekali untuknya. Setelah mereka menghabiskan sarapan mereka sampai Karl meminta porsi kedua pada Anna, saat itu Georgia hanya mendengarkan canda tawa di meja makan melalui dinding di mana ia terduduk di sarangnya bersama Kurt.

Saat ini, mungkin yang perlu dilakukan adalah tidur. Karena semua pekerjaan sudah diselesaikan sore ini, Georgia akhirnya memutuskan untuk berjalan pelan ke luar. Kurt tak mengikutinya, ia sedang sibuk bermain mengenal mainan barunya. Georgia mengusap Kurt memanjakannya sebelum ia benar-benar pergi.

"Aku... hanya pergi ke studio. Jangan cemas," ucap Georgia yang kemudian mencium Kurt dengan manis. Ia tak mampu memejamkan matanya di atas tempat tidur di saat isi kepalanya hanya dipenuhi sesuatu hal yang bahkan ia tak tahu di mana akan berakhir. Kapan dan mungkin bagaimana ia akan mengakhirinya.

"Pergilah ke tempat tidur duluan atau bermain sendirian dulu, oke?" Georgia mengusap-usap bulu Kurt dengan manis.

.
.
.

"Hari kedua mereka di Italy, Kurt."

Georgia bergumam seraya menidurkan kepalanya di samping dinding, di atas lantai yang rasa dinginnya yang sejuk bisa membuatmu mengantuk. Kurt terbaring malas di depan perutnya. Georgia meringkuk di depan jendela besar, di mana biasanya Karl akan membiarkannya terbuka, lalu pria itu akan mengerjakan pekerjaannya di samping jendela tersebut.

"Kau selalu mengikutiku," Georgia mendesah pelan sembari mengacak-acak bulu Kurt yang seputih kapas itu, "pada akhirnya."

Kemudian, setelah bermalas-malasan di studio Karl, Georgia akan turun ke bawah mencari Anna, mencari Steve atau menemui siapapun yang membutuhkan bantuan. Setelah ia cukup lelah untuk mengerjakan lagi sesuatu, ia berlari ke atas, kembali ke studio. Sebisa mungkin, Georgia mencari cara agar ia lupa bahwa ia pernah mengenal seorang pria bernama Karl. Ia menemukan cara untuk melupakan sifat-sifat baik Karl padanya dengan mencoba menuliskan sifat-sifat buruk Karl sejak awal pertama ia bekerja di sana.

Namun Georgia merobek semua catatan keburukan Karl. Percuma, ia pikir. Itu malah membuatnya semakin terbebani.

"Ah, ini melelahkan." Georgia beranjak, mengajak Kurt untuk ke luar dari studio dan mengajaknya berjalan-jalan untuk sekedar mencari udara segar.

.
.
.

"Hey," ucap Josh menyapa Georgia. Pria itu melepas topinya yang sudah terlihat cukup usang. Sembari berjalan menuju ke arah Georgia yang terduduk tenang dengan buku dan penanya.

"Hey, Josh!"

Georgia menekuk lututnya, bangkit dengan cepat. Berlari dan segera meraih tubuh Josh dan memeluknya. Buku dan penanya terjatuh bergantian. Di atas rumput hijau, di bawah pohon linden, ada sebuah catatan singkat yang menceritakan sebuah pertemuan dan perpisahan dengan untaian kata indah.

Georgia memeluk Josh, mengaitkan kedua lengannya di pundak Josh. Josh yang merasa cukup ragu untuk membalas pelukan gadis itu, hanya bisa menukik kedua alisnya ke atas---tak menyangka bahwa ia akan mendapatkan pelukan seperti itu. Josh mengejek sifat pemalunya, ia segera mengenyahkannya. Dengan perlahan dan lembut Josh meraih tubuh Georgia.

"Aku minta maaf, Georgia," ucap Josh lirih ketika rintih tangis lirih Georgia terdengar di samping kepalanya. "Aku turut berduka cita atas... kepergian Megan."

Josh bisa merasakan, Georgia menyeka hidungnya yang tampaknya mulai berair. Tangis Georgia membuat Josh mengkhawatirkan saat-saat terberat untuk gadis itu. Apa saja yang Georgia lakukan agar ia bisa menguatkan dirinya, di samping ia tak punya siapa pun di sampingnya. Josh merasa menyesal akan itu. Menjadi pengangguran agar Josh bisa menemani Georgia di saat-saat terpuruknya, tak akan membuat semuanya lebih baik. Josh merengut kecil saat ia menyingkirkan pemikiran konyol semacam itu.

"Aku senang kau mengunjungiku," ucap Georgia sembari mendorong tubuhnya menjauh.

Josh mengerjapkan matanya perlahan. Pria itu tersenyum, namun bisa terlihat di sudut bibirnya maupun ujung matanya, apalagi kerut di alisnya menunjukkan bahwa ia khawatir dan cemas akan keadaan Georgia.

"Bagaimana kabarmu?"

Georgia mengusap bagian bawah matanya dengan lembut.
Menyingkirkan beberapa bulir bening yang masih tergenang. "Aku... baik-baik saja, Josh. Lebih baik ketika aku melihatmu."

"Baiklah... kalau begitu, aku ingin mengajakmu makan."

Raut bahagia menyebar dengan cepat di setiap gurat wajah Georgia. "Ide bagus!" Georgia tertawa pelan, disusul kekehan kecil Josh yang terdengar sangat pemalu.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang