Éviter et Reconnaître -4-

1.2K 91 18
                                    

Happy reading! 💓

Don't forget to tap the star! ★★★♥
...

Ya, aku memang sangat ingin berhenti bekerja untuk Mr. Rigsby. Masalahnya adalah, ketika aku berhenti bekerja di bar, rumah paman --yang sekaligus kediamanku-- akan disita dengan otomatis. Katakanlah, aku seolah-olah diperdaya menjadi sebuah jaminan. Dan aku ingin berhenti karena itu.

"Kau menunggu apa?"

Tak mungkin aku menjelaskan perihal hutang paman yang semakin membengkak pada Mr. Rigsby. Aku tak mau terdengar hina di telinganya. Terlebih, terdengar seperti jalang yang siap ditindih oleh bossnya sendiri? Tidak mau!

"Menunggu pekerjaan lain." Ucapku dengan lemah. Aku mengatakan hal lain.

Karl bangkit berdiri dari kursinya, ia menyimpan buku dan pulpennya di atas kursi. Ia membuang napasnya berat dan mengembangkan senyum. Menorehkan perasaan bahagia yang singkat di hatiku. Ia mengulurkan tangannya, memintaku bangkit.

"Apa aku tidak membantumu?" tanyaku putus asa.

Aku meraih tangannya --dingin--tapi anehnya, itu malah menyalurkan perasaan hangat, manjalar ke stiap inci tubuhku. Aku meleleh seperti mentega di bawah terik matahari.

Karl menggeleng dengan cepat. "Tunjukkan tempat indah yang mungkin belum pernah ku lihat."

Aku langsung tersenyum lebar. Aku mengangkat kedua alisku seraya mengangguk-anggukkan kepalaku. Menyampaikan padanya bahwa aku tahu salah satu tempat yang ia maksud.

"Kita pergi sekarang?" Karl pun mengangguk seraya bersiap. Merapikan ruang kerjanya, Georgia sigap membantu.

.
.
.

Kami menuruni tangga, dan aku berjalan membuntutinya. Aku berperan sebagai ekornya. Mengibaskan diriku sendiri. Memperlihatkan bahwa aku indah dan patut mendapat pujian. Aku mengikuti setiap jejak langkah Karl tanpa membuat jejakku sendiri. Aku suka ini. Mengamati jejaknya yang tak terlihat, mencoba membuatnya pas dengan perkiraanku sendiri.

Karl berjalan santai dengan sepatu berwarna cream-nya yang menutupi mata kaki. Suara sepatuku sedikit berdecit dan menganggu. Karenanya, Karl sesekali memutar tubuhnya, entah untuk memastikan apa. Kami berjalan melalui dapur. Anna berdiri mencatat sesuatu, membungkukkan punggungnya. Memakai apron dan menggoyangkan pulpennya di samping telinganya.

Lihat?

Semua orang melakukan hal itu. Membuatku seperti, sedikit tenang terjatuh dari jurang.

"Pergi bersama? Ke mana?" Anna membuat kami berdua menghentikan langkah kami. Karl mendengung agak lama, menimbang jawaban yang tepat, mungkin saja. Aku menoleh padanya, ia pun menoleh padaku.

"Bergabung bersama teman-teman."

Karl menjawabnya singkat. Tapi, ia berbohong, bukan? Untuk apa, aku tak tahu. Karena apa, aku pun tak tahu. Anna pun mengedikkan bahunya pelan sembari tersenyum lebar tanpa berdiri menegakkan tubuhnya.

"Selamat bersenang-senang!"

Karl kembali melanjutkan langkah kakinya. Aku tersenyum sekilas pada Anna, dengan canggung. Apa Anna mulai menaruh curiga padaku? Tapi, biarkan saja. Aku senang melihat bagaimana cara Anna memandang kami seperti ada sesuatu yang berbeda di antara kami berdua. Di antara aku dan Karl.

Kami melalui lapangan voli. Menyapa beberapa teman Karl yang masih terlihat betah untuk tinggal. Randolph atau Randy mendengarkan musik sembari berjemur bersama Stella. Karl berhenti di setiap posisi teman-temannya, mengucapkan apa kabar, selamat bersenang-senang dan bertukar obrolan singkat. Beberapa dari mereka, berdebat di tengah lapang voli, meminta pemain pengganti ketika teman Karl yang bernama Lucky terlalu lelah untuk menjadi tosser.

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang