Restlessness -6-

798 68 3
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

"Cukup, ini kali terakhirmu menyentuh tubuhku, Karl," jelas Georgia, "aku tak mau kita semakin mendalami perasaan semacam ini. Aku tahu tempatku dan aku tahu apa yang aku lakukan."

"Cukup, kau melantur," Karl menggendong tubuh Georgia di atas punggungnya. "Jangan berbicara seperti itu. Bodoh sekali."

"Kau yang bodoh. Menganggapi semua ucapanku dengan serius," Georgia memukul punggung Karl dengan tangan bertenaga minimnya. "Itu adalah caraku mempertahankan diri dari serangan patah hati, bodoh!"

"Ah, serangan patah hati," gumam Karl yang mulai berjalan menuruni tangga dengan hati-hati. "Kau benar-benar plin-plan, Georgia. Katakan saja... katakan kau menyayangiku."

"Kau... kau yang menyayangiku. Pergi sana, menikahlah dengan---dengan wanita jangkung itu. Aku tak... mau lagi melihatmu!" seru gadis itu terbata-bata.

"Hentikan." Ucap Karl.

"Aku tak akan menghadiri pernikahanmu, pria egois. Aku akan pergi sesegera mungkin setelah aku mendapatkan resep dokter."

"Anna," Karl sampai di dapur. Meminta bantuan Anna untuk membukakan pintu mobil. "Aku akan memeriksakan gadis plin-plan ini ke dokter."

"Anna, aku tak mau pria bodoh dan egois ini mengantarkanku. Steve, antarkan... aku." Tangis Georgia kembali pecah. Gadis itu benar-benar terdengar seperti anak kecil cengeng yang tengah mengigau akibat demam yang tinggi.

"Georgia-"

"Tidak, Anna---gadis ini sepanas perapian di ruang keluarga kita. Jangan terlalu serius menanggapinya," Karl mendudukkan tubuh Georgia ke dalam mobil. Andreas segera menduduki kursi supir. "Aku akan kembali sesegera mungkin."

"Hati-hati, Karl." Ucap Anna penuh kekhawatiran. Karl tersenyum meyakinkan seraya mengangguk singkat.

.
.
.

Limun ku teguk dengan perlahan, rasanya Anna menambahkan gula di dalamnya---mungkin saja ia lupa atau mengira bahwa limun ini untuk Georgia. Karena itu, aku memutuskan untuk tak menghabiskannya. Ku simpan limunku di atas meja kayu kecil di samping kursi tempatku duduk. Semalam Georgia terkapar tak berdaya---mengigau sepanjang malam sampai sinar mentari pagi menampakkan diri lagi.

Karena hari ini cukup terasa panas, aku tak membutuhkan teh untuk saat ini. Cukup es saja. Berenang dan berjemur sampai keringatku menguap. Tapi siang ini, aku memilih untuk mengawasi gadis plin-plan di hadapanku. Mungkin aku bisa berenang lain kali---dan aku hanya perlu duduk di kursi yang sudah reyot ini sembari menunggui Georgia mengangkat sendok dan menyuapkan makanannya. Astaga, nafsu makannya benar-benar menurun. Ini membuatku gila dan cemas.

"Ayo, angkat sendokmu dan suapkan itu."

Ia hanya mengangkat pundaknya. Entah artinya tak mau atau malas atau entahlah aku tak mengerti kode mood wanita. Aku mencoba menghela napasku dalam-dalam. Masih banyak kesabaran yang tersisa dalam diriku.

"Makanlah atau kau tak akan sembuh."

"Apa pedulimu, Karl." Georgia berucap dingin tanpa memutar tubuhnya dan melirikku. Ia hanya terduduk lemas di atas tempat tidurnya, membelakangiku yang duduk di kursi dalam sebuah jarak.

"Aku tak ingin berdebat lagi," ucapku, "makan makananmu atau aku akan memberikannya pada Kurt."

"Ambil saja dan berikan pada Kurt. Mudah, kan?"

Astaga, gadis ini. Aku hanya bermaksud untuk membuat sebuah lelucon. Tapi entah kenapa jatuhnya terdengar sangat kaku---menimbulkan salah paham atau... hanya Georgia saja yang sedang sensitif?

"Dengar," aku berdiri dan lekas berjalan menghampirinya. Aku mengempaskan bokongku di atas tempat tidur---di sampingnya. "Apa yang kau inginkan, Georgia?"

Georgia memalingkan wajahnya, membuang pandangannya untuk menghindari pertanyaanku. Aku melihat airmatanya menetes dan membasahi seprai---beberapa lagi turut membasahi roknya. Aku masih terdiam, menatapi wajahnya yang hanya bisa ku lihat dari sisi sampingnya saja.

"Dua hari lagi?" tanya Georgia, mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Di mana kami bisa melihat pohon-pohon tinggi yang hampir menyusul atap paling atas rumah ini. "Karl, aku serius... aku benar-benar ingin pergi. Aku menyerah pada pekerjaanku di sini. Aku akan kembali ke rumah lamaku."

Aku menggelengkan kepalaku berulang-ulang. Georgia pun melirikku dengan tatapan sedihnya. Mata berkaca-kaca. Kabut air mata melapisinya. Cuping hidung memerah. Suara yang parau.

"Tidak." Ucapku singkat.

"Karl, aku tak bisa! Aku jujur padamu, aku tak bisa. Tolong hentikan semuanya---kau benar-benar egois!"

"Hari yang indah, bukan?" aku beranjak dan bergerak meregangkan kedua tanganku. "Kau mau menghirup udara segar?"

Georgia menengadah. "Aku akan mendapatkannya sesegera mungkin."

Aku terkekeh pelan seraya menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya akan pernyataannya. "Sial." Desisku kesal.

Aku menatapinya dengan tajam. Senyuman kecil kuberikan untuknya. Amarah benar-benar meluap-luap di hatiku. Gadis ini pikir aku tak merasa bersalah untuknya? Untuk mengecup bibirnya di malam itu, butuh keberanian yang sangat besar dan aku mengesampingkan fakta bahwa aku adalah seorang pria dengan cincin tunangan yang tersemat di jemariku.

Ia pikir aku tak ingin memulai awal yang baru dengannya? Di samping membangun pijakan baru, apa aku harus meruntuhkan bangunan yang sejauh ini telah ku huni bersama Irina? Aku menginginkannya---amat sangat. Tapi kita tak bisa berbicara hanya tentang perasaan cinta belaka. Aku berbicara tentang tanggung jawab---yang mana harus kuberikan pada Irina. Di mana aku tak mampu untuk memberikannya padamu karena ini terlalu rumit.

Aku ingin mengusap pipimu dan meraih garis rahangmu yang tegas dan melabuhkan ciumanku---sekali lagi sebelum semuanya benar-benar berakhir untuk kita, Georgia. Aku tak mempunyai pilihan yang lain. Ketika ada pilihan lain, apa itu cukup memungkinkan untuk terealisasi? Bukankah aku telah mengatakan padamu bahwa ini sungguhlah rumit?

...
Tbc

Love you guys!

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang