Burn Your Bridges -5-

849 69 28
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Hari keempat, mereka sudah pulang.

Bisikku tak lebih berisik dari suara embusan napasku. Di sinilah mereka detik ini, bersama kumpulan orang-orang dengan perut kosong. Menatapi meja makan, menentukan makanan manakah yang akan mereka lahap terlebih dahulu. Anna---yang duduk di sampingku---menyenggol lenganku pelan. Katanya, pilih kuenya. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum satu jari.

Aku pilih Karl saja, batinku jujur.

Irina terlihat sangat bahagia di sana. Begitu pun dengan suaminya. "Aku punya kabar bagus untuk kalian." Irina berdiri, mengusap bokongnya lalu menghela napas. Bersiap untuk memberikan kabar yang ia maksud pada kami.

Semua orang---mama Karl dan Kyle, papa mereka, Mr. dan Mrs. Schwarz, Becca juga hadir di sana, Anna, Steve, Marcel, Andreas, aku--- membuka telinga kami lebar-lebar. Aku meremas ujung kausku dengan cemas. Apa yang akan terjadi selanjutnya---hanya itu yang ada di pikiranku saat itu. Semua sel di tubuhku menanyakan hal yang sama. Meminta jawabannya pada Karl, bukan Irina.

Irina mengusap perutnya, kemudian meraih rahang Karl dan terkekeh pelan. "Dad to be." Ucapnya dengan kebahagiaan yang terpancar di wajahnya yang memerah sumringah.

Bagus, batinku dengan sejuta paradoks dalam tiap maknanya. Semua orang menjerit bahagia. Ku rasakan telingaku mulai berdengung dan linu karenanya.
Mrs. Hartmann, mendengung kemudian menangis lirih sembari menutup kedua matanya menggunakan tisu. Kemudian Mr. Hartmann membawanyya ke pelukan. Mr. dan Mrs. Schwarz tertawa bahagia, tangis haru mereka pun bisa ku lihat jelas. Ucapan selamat bergaung di udara. Jeritan-jeritan kecil, tangis haru nan gembira. Sorak sorai para pria membuat dadaku berdegap kian kencang.

Aku, di samping senyuman yang entahlah, kupaksakan---mencoba menggerakkan kepalaku menatapi raut wajah Karl. Kusimpulkan dari gurat ekspresinya, ia sedikit terkejut seperti calon ayah pada umumnya. Ah, kabar yang bagus membuatmu terkejut, Karl? Siapa yang lebih terkejut dari diriku?

Selamat, Karl.

.
.
.

"Tolong," pintaku memelas seraya menyandarkan tanganku di balustrade. "Mr. Hartmann..."

Karl hanya menyibukkan dirinya mencari benda yang entah apa itu aku tak tahu menahu. Mengacak-acak barang yang sudah tertata rapi di setiap lemari. Kemudian ia berhenti setelah sebelumnya ia membanting sebuah buku yang cukup tebal dengan sampul hitamnya. "Berhenti menyebutku Mr. Hartmann."

Tangannya kembali sibuk. Kedua alisnya, ku lihat, menekuk tajam memberiku tatapan sangarnya. Apa yang membuatmu marah, Karl Hartmann? Bukankah seharusnya kau bersenang-senang di luar dan berdansa dengan gelas minuman di tanganmu.

"Ku mohon, aku tak bisa menerusk-"

Karl berdecak. "Omong kosong." Desisnya dingin dan datar.

"Dengar," aku bergerak menuruni tangga dengan cepat. "Aku harus pergi."

"Kau harus pergi maka pergilah." Ucap Karl dingin.

Napasku sontak tercekat. Karl menatapiku dengan datarnya. Membuatku tak mengerti. Mata gelapnya, yang dulu ku kenal dingin namun ramah itu, tiba-tiba menatapku seakan aku ini adalah dosa terbesarnya. Atau seolah-olah aku ini adalah benda paling menjijikan di muka bumi ini. Embusan napasnya, sarat akan kemarahan. Padaku?

Aku marah. Sungguh marah. "Inikah... pada akhirnya?" Mataku samar dan kabur oleh kabut yang kian menebal. Benteng pertahanan pelupuk mataku rasanya sebentar lagi akan rubuh.

Karl mengacungkan tangannya. "Sebentar, ada satu hal lagi." Ia melenggang begitu saja meninggalkanku. Karl berbelok ke arah sofa dan meraih sesuatu di dalam ranselnya. Untuk sebentar saja, aku memanfaatkan kepergiannya untuk menghapus airmataku yang tanpa aba-aba menetes menyusuri sungai wajahku.

Ia kembali berjalan ke arahku dengan wajah santainya. "Ini upahmu." Karl mengeluarkan amplop cokelat yang tebal padaku.

Aku menahan tangisku...

Sebisa mungkin aku menahan tangisku...

Aku menahannya.

Dan aku tak bisa. Aku menangis sejadi-jadinya. Dengan diam dan lirih, aku hanyut di dalam tatapan Karl yang dengan dinginnya mengintimidasiku.

Kau ingin aku benar-benar pergi dari sini? Meninggalkan semuanya? Apa yang kau dapatkan dari tiga harimu bersama Irina di Italia? Kau benar-benar berubah. Aku akan katakan bahwa tiga hari untuk memutuskan hubungan dengan seseorang adalah waktu yang cukup singkat. Kukatakan, kau terlihat sangat sukses. Sukses membangun kembali dinding pembatas antara dunia kita yang dulu kau sendirilah yang merobohkannya.

Mungkin akan lebih tepat jika kukatakan, kau sudah menguburku dalam-dalam. Rata bersama tanah.

"Apa ini caramu... mengucapkan selamat tinggal, Karl?"

Karl menghela napas dan memberikan senyum santainya padaku. "Ku harap upahmu selama bekerja di sini bisa membekalimu." Karl kembali menggoyangkan amplopnya, memberi isyarat agar aku cepat mengambilnya.

Aku menggelengkan kepalaku tak kuasa menahan rasa sakit yang tengah ia torehkan. Apa ini mimpi? Ku mohon bangunkan aku! Ini tak terasa nyata, maka katakan padaku---teriakkan padaku bahwa aku sedang bermimpi! Airmataku terus berderai dan tak henti-hentinya mengucur. Kapan kedua mataku akan mengering? Cepatlah, bangunkan aku.

Angin, hempaskan dirimu yang dingin agar aku terbangun karena kedinginan. Api di perapian, sebarkan hangatmu sampai semakin dekat agar aku bisa terbangun karena tubuhku terbakar kepanasan. Air, ku mohon padamu tenggelamkan aku sampai aku kehilangan napas---namun, jika bersamamu dan aku tenggelam di dalam dirimu, jangan sampai membuatku terbangun. Tolong. Biarkan aku mati dalam tangisku. Kehabisan napas tanpa meronta ke luar meminta seseorang menarik tanganku, menyelamatkanku.

Biarkan saja...

Terbangkan semua abu kertas kenangan yang sudah kutuliskan. Bakar ia sampai habis menjadi debu. Hanyutkan ia sampai di mana sungai dan laut akan bertemu. Seperti sekarang ini, semua kenangan tentang Karl---tentang kami hanyut di dalam tatapan kosongnya.

"Terimakasih. Aku akan berkemas." Gumamku, ku hapus semua bulir bening yang bahkan tak ada satu pun hal di ruangan itu yang peduli akan airmataku. "Simpan upahku untuk keperluan Anna."

"Tidak, tidak ini adalah hakmu." Karl menggeleng.

Aku berucap dengan lemah. "Tolong." Airmataku kembali mengucur.

Benar, aku sedang berbicara pada seseorang yang bahkan bisa membuatku lupa siapakah dia di masa laluku. Semuanya menjadi kelam dalam hitungan hari. Semua jejak kehidupanku rasanya hanya dipenuhi kesakitan. Apa yang sebenarnya tengah Tuhan berikan padaku? Bisakah malaikat memberitahuku apa rencana-Nya?

Kakiku mulai kulangkahkan menyusuri tangga. Namun keduanya terhenti ketika Karl memanggil namaku.

"Georgia," ucapnya. Kemudian aku membalikkan tubuhku. "Bawa Kurt bersamamu, karena... ku rasa aku tak akan membutuhkannya. Irina juga alergi terhadap sejenisnya."

Hatiku mulai bertanya-tanya dan dibuat tercengang akan pernyataan Karl. Apa sebenarnya yang dapat membuat orang merubah hati mereka seperti sekeras batu?

"Ya... baiklah. Terimakasih."

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang