Restlessness -1-

926 73 0
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Karl menarik kain penutup putih yang ia gunakan untuk menjauhkan pekerjaannya saat ini dari debu-debu yang kemungkinan menempel dan membandel di permukaan kanvasnya.

"Kau tak keberatan karena aku belum menyelesaikan ini?"

Karl menyinggung soal lukisan potretku yang masih belum sempat ia selesaikan. Aku menggeleng pelan sembari berjalan pelan ke arahnya. Ia memalingkan wajahnya dan tersenyum padaku. Aku memang tak pernah melucuti kain putih itu---karena aku pikir itu akan jadi tak sopan dan menyebalkan untuk Karl.

Karl tertawa kecil melihat tingkah Kurt---berlarian ke sana ke mari menabrak apa pun yang ia baru temui. Sesekali ia menggelengkan kepala dan menggoyang-goyangkan tubuhnya, merasa bersemangat.

"Georgia,"

Karl berjalan menuju jendela besar yang berada tak jauh dari tempat di mana kami berdiri. "Mereka sudah menentukan tanggalnya, maupun semua detailnya."

Aku langsung terhubung dengan pemikirannya. Tiba-tiba hatiku terasa sangat sesak dan kian menyempit. Bisa kurasakan bagaimana rasa dingin dan kosong menimpaku perlahan. Bahuku luruh, merasa malu pada dunia. Sebisa mungkin aku menahan rasa sedihku. Karena untuk rasa kecewa, sepertinya aku kurang berhak memakai kata itu.

Namun apabila aku menggunakan kata marah, sedikitnya aku dapat membenarkan itu. Karena ku pikir, tindakan kami di malam itu, khususnya karena Karl yang memulai untuk mengakui semuanya---aku jelas marah.

Apa sebenarnya yang ada di pikirannya?

Rasa tulus?

Rasa sayang?

Ego yang tinggi?

Kebingungan?

Sekali lagi, untuk kata kecewa, mungkin aku kurang pantas menggunakannya. Karena aku tak bisa menyangkal bahwa, aku sudah memperkirakan hari seperti ini akan terjadi---hari di mana sebuah benteng atau tabir yang membatasi kami, yang baru saja kami hancurkan malam itu, dengan terpaksa harus dibangun kembali dalam waktu yang singkat.

Aku tak mampu menatapnya saat itu. Tidak dengan dia yang terlihat bersusah payah mengulang kalimatnya demi membuatku yakin dan sadar akan apa yang terjadi pada kami.

Karl meraih rahangku, menatap wajahku yang sengaja kujauhkan dari pandangannya. Karl terus menerus mendesakku agar aku mendongakkan kepala, menatapnya. "Georgia?"

Aku bergumam tak jelas tentang apa yang kami lalui malam itu. Apa yang Karl maksud dengan; Aku ingin menikmati waktu kita sendiri?

"Karl beri aku waktu untuk mencernanya," aku menepis tangannya yang memangku wajahku. "Oh ya, dan... jangan pernah menyelesaikan lukisanku, ku mohon."

Aku mengacung-acungkan tanganku ke arah kanvas, dengan gestur yang menunjukkan rasa frustasiku. Sementara, Karl menangis lirih di belakangku ketika aku mulai berjalan terhuyung menjauhinya. Lebih tepatnya, meninggalkannya di studio bersama Kurt yang tengah berbahagia dengan kuas-kuas yang ia gigiti. Karl tak berusaha untuk mengejarku, dan apa aku berharap agar ia melakukannya?

Ya! Tentu saja.

Apa selama ini ia hanya mempermainkanku?

Setidaknya, panggil namaku sekali lagi, Karl. Agar aku yakin bahwa kau memang ingin menikmati waktu kita. Agar aku yakin bahwa aku bukanlah wanita yang kau luluhkan demi menemani jiwamu yang merasa sepi.
Jika kau tak melakukannya, maka aku benar-benar harus meruntuhkan tumpukan harapan yang masih tersisa lalu mulai menghitung berapa orang lagi yang akan meninggalkanku.

Ibuku: check

Megan: check

Jordan di balik jerujinya: check

Kau...

.
.
.

Aku melihat Steve dan Karl menggosok-gosokkan tangannya ketika ia melihat hidangan penutup yang sudah ku buat bersama Georgia tadi. Randy dan Lucky bergabung untuk menikmati sarapan bersama kami.

Suasana sedikit berbeda pagi itu. Georgia sedikit murung dan muram Karl pun terlihat sama. Hanya saja, Karl lebih mampu untuk menyembunyikannya---meskipun ia tahu bahwa ia takkan bisa mnyembunyikannya dariku.

Apa yang kukhawatirkan adalah, aku takut apabila Karl tidak bisa mengatur semuanya---menjaga agar semua hal tetap dalam kendali. Karl: rencana pernikahannya, kedekatannya dengan Georgia, tamu Italian yang memesan sebuah lukisan landscape, teman-teman yang menyinggungnya soal rencana pernikahannya dengan Irina.

"Jadi, bagaimana, Signor Karl?" tanya seorang tamunya---pria tua seumurku dengan kacamata yang bertengger di kepala pelontosnya yang terlihat licin.

"Signor Oliviero, dengan senang hati aku akan menerima pekerjaan ini."

Karl menyimpan salah satu tangannya di depan dada dan menunduk---memberi hormat pada tamunya yang bernama Oliviero Rugerri itu. Oliviero menampar tangan kirinya dengan tangan kanannya, saking merasa puas bahwa Karl akan mengerjakan pesanannya. Semua orang tertawa seketika, kebahagiaan sedikit menghangatkan.

"Aku---kebetulan sedang menikmati liburan dengan dua putriku, juga dengan mantan isteriku, Julia Cross, yang tinggal tak jauh dari sini," semua orang mendengung menyimak cerita dan menganggukkan kepalanya paham. Kemudian Oliviero menyebarkan senyuman khasnya dan mengeluarkan sebuah foto kecil yang tersimpan di balik saku kemeja birunya. " Ini, aku memotretnya. Dua putriku, Lucia Rugerri dan Debora Rugerri---dan pemandangan inilah yang ku ingin Signor Karl lukiskan untukku." Sambung Oliviero, berbicara pada semua orang. Oliviero memperlihatkan secarik kertas foto pada semua orang.

"Putrimu, mereka cantik sekali---oh kau mau mereka ada di lukisan ini juga?"

Oliviero mengangguk-anggukan kepalanya seolah menyampaikan rasa terimakasih atas pujian Karl. "Oh kalau itu tidak perlu, aku bisa melihat mereka setiap hari melalui skype. Tapi, karena aku sangat jarang berpergian seperti ini, apalagi ke Amerika, ini tidak terjadi setiap hari, bukan? Maka dari itu aku ingin kau mengabadikannya untukku, Signor Karl."

"Terimakasih atas kepercayaan Anda, Signor Oliviero."

Perhatianku kembali tertuju pada Karl dan Georgia di saat obrolan tadi berakhir---ketika mereka mulai sibuk menghabiskan makanannya masing-masing.

"Karl, apa Kurt sudah mendapatkan makanannya?" tanyaku pada Karl.

Karl memejamkan matanya dan mendengus pelan. "Astaga aku lupa-"

"Jangan khawatir, aku sudah mengisi mangkuk makananya," Georgia menimpali dengan dingin, lalu ia menunjukkan seulas senyuman pada Karl. "Aku juga tak melupakan minumnya."

"Ah---kalian berdua pet parent, ya? Lucu sekali. Kalian sepertinya orang tua yang sangat manis." Timbrung Oliviero yang memang tak tahu bahwa Karl dan Georgia bukanlah seperti yang ia pikirkan.

"Signor Oliviero," Steve membuka suaranya. "Um... mereka tidak seperti itu---maksudku, mereka bukan pasangan suami-istri."

"Oh, maafkan aku! Ternyata kalian masih berpacaran, ya?"

"Tidak, Signor Oliviero, aku hanya bekerja di sini." Balas Georgia mencoba meluruskan pemikiran Oliviero.
...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang