Burn Your Bridges -1-

922 80 17
                                    

Dalam sehari, halaman rumah ini berubah menjadi tempat yang lebih indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam sehari, halaman rumah ini berubah menjadi tempat yang lebih indah. Cuaca yang bagus sangat mendukung. Burung-burung berkicau---turut bahagia. Awan putih datang dan berlalu dengan semilir angin yang menerpa kulit kami dengan lembut. Pakaian-pakaian mereka yang sederhana tetap terlihat mewah untukku. Senyum haru dan bahagia terbingkai di sudut bibir mereka. Orang-orang masih sibuk berbincang dengan masing-masing teman bicaranya. Topik yang berbeda bisa ku dengar samar-samar dari mulut mereka.

Gaunku---berwarna kuning langsat, seperti kuning kulit orang Asia. Fascinator dengan aksen yang cukup sederhana tersemat di kepalaku. Anna dan aku mengenakkan gaun yang hampir sama---Anna berdiri di sampingku. Kami duduk di barisan kedua setelah keluarga besar kedua mempelai menempati barisan paling utama.

Karl---ia menawan, persis seperti pertama kali aku melihatnya, di studio bersama Irina. Surai cokelat gelapnya sedikit menampilkan cahaya pirang dari sinar matahari. Aku berani menatapnya---namun, ia bahkan tak berani untuk menolehkan wajahnya ke arahku. Aku bisa melihat keringat lembutnya---mengucur melalui pelipis dan menguap di bawah terik. Kau menawan dengan keringat-keringatmu itu, Karl. Cahaya matahari yang menerpa kulit wajahnya, semakin membuat kulit putihnya kontras dengan jas hitam yang ia kenakkan. Selain itu, aku menangkap kecemasan dalam sudut matanya, seolah mengurung ketakutan dalam manik mata gelapnya.

Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja, Karl.

Kurasakan hatiku hampa. Kosong. Linu.

Karl mengusap pipinya---lebih tepatnya, ia menghindari airmata terjatuh dari matanya. Ya, aku bisa melihat ia menangis dalam gemingnya. Sepertinya, hanya aku saja yang dapat menyadari itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang dan meniupkannya dengan perlahan atau bahkan mengembuskannya sekaligus, terlihat sangat berat. Sementara aku sibuk menekuri betapa indahnya sosok Karl di hari pernikahannya, aku tak sadar jika semua orang mulai berdiri satu per satu. Anna mencoba mengundang kembali kesadaranku, menggoyangkan tubuhku dengan lengannya perlahan. Aku mengerjap dan meminta maaf untuk sejenak---lalu aku berdiri dengan segera.

Aku berdiri perlahan. Namun ketika aku melakukannya, rasanya semuanya terlihat samar dan berputar. Gelap dan hitam. Mataku berkunang-kunang. Tapi masih bisa ku pandang dengan susah payah, Irina berjalan perlahan menuju altar, tangannya melingkar di lengan sang ayah sedangkan tangan lainnya ia gunakan untuk memegang sebuket bunga cantik dengan erat. Aku bisa mengenali bunga-bunga yang terangkai dengan cantik---tulip putih, lambang permintaan untuk menjadi pasangan hidup. Mawar putih, cinta sejati yang penuh dengan ketulusan, kemurnian dan kerendahan hati. Edelweis, cinta abadi. Edelweis yang sulit untuk dijangkau menandakan perjuangan. Perjuangan untuk cinta yang abadi.

Di samping memikirkan masing-masing filosofi yang ku ketahui dari bunga tersebut, pandanganku semakin kabur. Aku berdelusi. Psikosis. Paradoks. Aku melihat tubuhku sendiri berbalut gaun putih, menggenggam sebuket bunga Edelweis dan Lili putih. Tak ada seorang pun yang mengantarkanku sampai aku bisa menjangkau altar. Paradoks. Tiba-tiba semuanya kian gelap dan berat. Aku berbisik pada Anna untuk pergi sebentar. Ketika Anna mengizinkanku, aku berjalan dengan langkah yang cukup gontai. Aku berjalan lebih cepat---kemudian berlari tatkala ku lihat batas pintu dapur Anna kian mendekat. Secepatnya ku raih batas pintu.

.
.
.

"Kau menghilang."

Georgia terhenyak. Suara parau Karl yang bergaung di dalam kamarnya membuat jantungnya hendak meloncat keluar. Georgia memutar tubuhnya---masih dengan tangan yang tersimpan di dadanya. Georgia menghembuskan napasnya. "Karl, kenapa kau ada di sini? Bukankah itu tak bagus untukmu?"

Karl melonggarkan kerahnya, melepaskan dasi kupu-kupunya. Pria yang baru saja menyematkan cincin pernikahan ke pada wanitanya, berjalan ke arah Georgia yang tengah berdiri---dengan tangan yang menjulur ke luar di batas jendela kamar. Jarak yang cukup jauh tersisa, Karl berdiri di hadapan Georgia. Hanya keheningan yang hidup di antara mereka. Embusan napas yang lembut terdengar dari keduanya. Georgia menatap sepasang mata gelap Karl, cahaya biru malam berkilau di wajah Karl. Karl memalingkan pandangannya, ke arah mana saja agar ia bisa menghindari tatapan Georgia yang bisa saja menusuknya sampai mati di malam itu.

Georgia menggertakkan giginya---menahan rasa terbakar yang merenggut ketenangan malamnya. Setiap sel darah yang ada di dalam tubuhnya, mengalir dengan kecepatan yang tak dapat terbayangkan. Belum ada sebuah kata pun yang terucap. Georgia bahkan tak pernah mau lagi untuk menyinggung masalah pernikahan yang baru saja terlaksana. Karl menghela napas panjangnya, hati Georgia berdesir, ia mengagumi bagaimana tulang selangka Karl terlihat ketika ia menarik lalu meniupkan napasnya dengan lembut. Georgia menyukai---bagaimana harum tubuh Karl bercampur di udara, bersamaan dengan wangi parfum miliknya sendiri yang menyusul untuk bersatu di udara.

Karl esok akan pergi ke Italia. Bukan untuk menemui teman-temannya, namun untuk menikmati hari-hari di mana pengantin baru menghabiskan waktu mereka untuk bercinta di sebuah hotel atau penginapan yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Bercinta dan bercinta. Georgia menunduk---menggelengkan kepalanya pelan disusul dengan sebuah kekehan kecil dari mulutnya. Georgia bahkan tak mampu membayangkannya---Irina di atas tubuh Karl atau Karl di atas tubuh Irina.

"Apa yang kau tertawakan?"

Karl berjalan menuju tempat tidur---mengempaskan dan membaringkan tubuhnya di atasnya. Karl bergerak, melepas jas hitamnya. Perasaan gelisah semakin menganggu hati Georgia. Bagaimana jika Irina mendapati mereka berdua di kamar yang gelap itu.

"Aku tidak tertawa." Georgia mencoba mengusir rasa cemasnya di samping ia benar-benar khawatir akan kehadiran Irina di antara mereka.

"Kau tidak tertawa?"

"Tidak." Sahut Georgia.

"Tidak, ya." Ulang Karl pelan.

Georgia membuang wajahnya ke arah jendela. Ia menghela napas panjangnya. Segelintir orang masih betah di meja makan panjang dengan memegang gelas cocktail-nya. Beberapa dari mereka masih mengangguk-anggukan kepala mereka sembari sedikit menggoyangkan tubuh mereka menikmati musik yang tengah diputar. Georgia bisa melihat Randy, Lucky, Stella, Phoebe bahkan teman-teman Italia-nya.

Karl sibuk memandangi langit kamar Georgia. "Aku pergi ke Capri besok. Kau baik-baik di sini."

"Karl," sahut Georgia, "sebenarnya aku terpikir untuk berhenti dari pekerjaan ini. Maksudku, membantu Anna, membersihkan studiomu."

Karl terkekeh pelan. Ia mengetatkan rahangnya, merasa cukup marah. "Kau tidak akan pergi."

"Ya, aku harus."

Karl bangkit setelah Georgia mengatakannya, pria itu terduduk dengan tangan yang terbuka---menggenggam kayu ranjang dengan kuat. "Tidak---kau tidak harus dan tidak akan pergi. Kau mendengarku."

...
Tbc

Gimanaaaa? Ada yang ikhlas dengan pernikahan Karl sama Irina?

Leave a comment, ya!
See ya soon!!! Lots of love! Much regards!

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang