Restlessness -2-

875 73 8
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Mungkinkah pria yang selalu ku panggil dalam setiap do'aku, akan menjadi kekasih sejatiku?

Untuk selalu ada di tiap kali aku membuka mataku dan menolehkan wajahku, setiap aku menghela napas dan mengembuskannya, di setiap aku mengayunkan langkahku.

Akankah itu semua menjadi mungkin dalam waktu yang singkat?

Aku selalu memenuhi benda lembek di balik tempurungku dengan segala kemungkinan atau imajinasi indah bersama pria itu. Tapi aku akui bahwa aku takkan banyak berharap. Aku sudah sangat yakin---tapi sialnya, sebagian kecil dari diriku selalu mendo'akan yang tidak tidak. Dan aku merasa sangat buruk untuk itu!
Ah, semoga aku dapat menjalaninya, menerima semua yang memang sudah digariskan Tuhan.

Aku memejamkan mataku, membisikkan kata amin dengan lirih. Perhatianku seketika kembali pada Kurt menggoyang-goyangkan ekornya sembari bermain dengan penuh semangat di atas rerumputan yang baru saja Andreas pangkas menjadi rapi.

"Kurt... Kurt, kemarilah!" sahutku padanya.

 Kurt, kemarilah!" sahutku padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ya Tuhan... dia nakal sekali, G!" pekik Andreas, seperti kesal namun bukan seperti itu, karena dia sudah mengakui kegemasan Kurt padaku sebelumnya.

"Kau menyukainya, Andreas!" aku tertawa keras padanya yang sedang mencabuti rumput liar yang bersarang di dalam pot tanaman hiasnya.

Andreas tersenyum lebar seraya mengangkat bahunya, setuju akan ucapanku. Berselang beberapa menit, Andreas berdiri dengan susah payah. Lalu ia mengelap keringatnya yang berbutir besar dengan menggunakan punggung tangannya. Ia mendesah panjang seraya meregangkan kedua tangannya.

"Kau mau bergantian tugas?" tawarku padanya, dan Andreas tampak senang.

"Ya, boleh!" Andreas mengembuskan napasnya lega.

Aku pun beranjak untuk meneruskan pekerjaannya. Akhir-akhir ini, aku memang bekerja dengan sangat giat dan tekun. Pernah satu sore, Anna sampai memarahiku, bukan karena aku melakukan kesalahan. Dia bilang, aku terlalu keras mengerjakan pekerjaanku. Namun, aku berterus terang padanya bahwa aku melakukannya dengan tujuan tertentu. Aku mengatakan bahwa, dengan bekerja lebih keras, aku akan sekejap melupakan semua hal tentang Megan, Jordan...

Karl...

"Tinggal cabuti saja parasitnya," Andreas menghela napas panjangnya. "Ah, aku akan meminta Anna untuk membuatkan minum. Kau tahu, ketika hari bertambah panas, pekerjaan terasa semakin berat."

"Sudahlah, istirahat saja dulu. Kurt bisa bermain sendirian."

"Ya, ya. Mungkin aku akan membawakan Kurt bola."

"Ide bagus---terimakasih, Andreas!"

.
.
.

Aku berjalan ke arah mereka. Andreas dan Georgia sedang menyibukkan diri mereka di halaman depan. Georgia dengan bunga-bunganya, Andreas yang tengah sibuk mencari sesuatu di dekat garasi yang tak jauh dari tempat Georgia berada. Kurt sedang berlari menuju Georgia. Ya, Kurt dan aku menuju ke arah Georgia.

Membuat sketsa dan konsep untuk pekerjaan yang baru, sedikit membuatku lelah karena berpikir. Percayalah, pekerjaan yang mengharuskanmu memakai otak sebagai motor penggeraknya, merampas lebih banyak tenaga dan pikiran. Maka dari itu, ketika hal buruk menimpaku, dan menyia-nyiakan pikiranku dengan memikirkannya akan membuatku stress berat. Seperti, pertengkaran kecil-kecilan yang terjadi di antara aku dan Irina menjelang pernikahan kami. Meskipun pertengkaran kecil, bagaimana jika pertengkaran kecil itu terjadi cukup sering?

Lalu hal buruk atau bencana yang akan mengalihkan perhatianku. Seperti, daripada bekerja, aku malah mengurusi masalah tersebut. Bencana yang menimpa Georgia kemarin, bisa ku ambil sebagai contoh. Semua efeknya sangat terasa di awal, namun setelah beberapa hari berlalu, kami melanjutkan kehidupan kami seperti biasa. Aku kembali pada pekerjaanku, Georgia pada tanamannya dan Anna---mungkin pada Kurt juga. Andreas di garasinya juga tanaman hiasnya, Steve di dapur dan di bengkel atau garasi. Marcel---Marcel belum kembali dari Perancis, padahal aku sedang membutuhkannya.

"Hey," sapaku pada Georgia. Aku merasakan hatiku berdesir, pedih dan sakit ketika aku melihat ke dalam matanya. "Kau sedang sibuk?"

Georgia masih mendiamkanku. Setelah sebelumnya ia sempat melirik dan menatapku sejenak, ia kembali pada pekerjaannya.

"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." Ku coba untuk mencari jalan agar aku bisa meluruskan semuanya.

"Kau bisa bicara sekarang." Georgia berujar lirih dan tenang tanpa memalingkan wajahnya.

"Aku salah."

Ia menolehkan wajah dan memutar tubuhnya seiring ia berdiri dan menghadap padaku. "Tidak. Tak ada yang salah."

"Maafkan aku atas malam itu... kau tahu, semuanya membuatku kebingungan dan keliru. Aku harus katakan, bahwa-"

"Karl," lirih Georgia seraya menunjukkan senyuman tulusnya. "Kau tahu, aku sudah menduga bahwa hari ini akhirnya akan datang. aku sudah pernah mengatakannya, bukan?"

Georgia berjalan ke arahku, ia terus berjalan sehingga aku mencoba mengikutinya perlahan dan menyejajarkan langkahku dengan miliknya. "Georgia, apa kau akan menghargai keputusanku? Apapun itu?"

"Tentu saja, Karl," kami terus berjalan dengan langkah yang santai. "Aku siap, Karl. Aku akan siap menerima semua bentuk keputusanmu. Aku takkan berbicara lagi mengenai ini setelah hari yang dinanti-nanti telah dilalui."

Georgia menghentikkan langkahnya. Ia tersenyum padaku---dan aku benar-benar ingin menangis saat itu juga. Dia begitu tulus padaku. Rasanya benteng pertahananku telah rubuh, aku tak kuasa lagi menahan airmataku. Rasanya tenggorokanku pun ikut merasakan sakitnya.

"Karl, anggaplah malam itu tak pernah terjadi, semua kedekatan kita, anggaplah bahwa itu tak lebih dari seorang majikan dan pekerjanya."

"Meski kau berbicara seakan semuanya mudah---Georgia, aku takkan bisa menjalaninya dengan mudah dan cepat begitu saja. Itu membutuhkan proses." Timpalku mengoreksi.

"Aku tahu---aku tak pernah berkata bahwa itui akan mudah, Karl. Percayalah, kita bisa melewatinya."

Aku langsung memeluknya, menangis lirih seperti aku sewaktu kecil---cengeng.

Georgia mengusap rambutku dengan lembut. "Karl, ketika obrolan ini berakhir, aku mau semuanya kembali seperti semula. Seperti tak pernah ada malam itu, oke?"

"Kau yakin, Georgia?" rintihku di balik tangis. Aku mengeratkan kedua tanganku di pundaknya, memeluknya seakan tak akan ada lagi hari esok.

"Karl, kita harus melakukannya!"

Apa ia benar-benar berkata dari hatinya?

Apa ia menginginkan kami berpisah?

Kenapa semuanya tampak mudah baginya?

Tak ada tanda kegugupan darinya, yang selalu kutemukan ketika aku di dekatnya. Yang mana aku sangat suka itu. Tak ada gurat penyesalan di wajahnya setelah ia menentukan semuanya. Apa memang perpisahan semudah itu untuknya? Lalu, hanya aku saja yang merasa sangat berat?

Georgia, kau pikir aku tak patah hati keika aku harus meninggalkanmu, menyimpan semua kenangan kita jauh di belakang punggungku sampai aku lupa di mana menyimpannya dan melupakannya?

Kenapa kita tak bertemu jauh-jauh hari?

Kenapa kita dipertemukan di saat aku telah terikat?

Hal itu terus berputar di pikiranku, Georgia. Perasaan yang ku sangka hanyalah perasaan suka semata, ternyata tidaklah sesederhana itu. Ku rasa, hari dan waktu berlalu, mereka semakin cerdas mengungkap tabir yang memberi sekat di antara hatiku dan hatimu.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang