Restlessness -4-

813 66 2
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

"Jadi, kalau boleh ku tahu, berapa usiamu, Georgia?" Keira bertanya padaku, perihal usia.

"Sembilan belas." Ucapku seraya tersenyum ramah.

"Ah, Kyle dan Becca, ya?"

"Ya, kami seusia." Balasku lagi.

"Kau tak melanjutkan studimu, Georgia?" tanya gadis berambut cokelat kemerahannya bernama Elle.

"Tidak, sayang. Beberapa orang memilih langsung bekerja." Jelas Keira pada Elle.

"Elle," gadis bernama Elle itu mengulurkan tangannya padaku. "Semoga kita bisa berteman."

"Georgia." Kami berjabatan tangan.

Semakin banyak lelucon, semakin ramai makan malam. Semua orang sibuk dengan topik obrolan mereka sendiri. Flynn yang sibuk dengan teleponnya---memesan dua kamar di penginapan terdekat. Elle yang sibuk menuturkan bagaimana liburannya di Perancis---sementara aku sibuk memandangi pamannya. Dan tak ku sangka, pamannya---Karl, memergokiku.

Tetap tenang, tetap tenang, pasang wajah dinginmu, G.

"Kau baik-baik saja?" celetuknya padaku.

Aku tersenyum tipis padanya, sebenarnya, aku tak memutuskan untuk menolehkan kepalaku ketika ia berhasil mendapatiku menatapinya. Aku hanya tetap mempertahankan posisi wajahku dan tersenyum setipis mungkin---santai.

"Ya, tentu." Sahutku singkat dan tenang. Ah, aku pasti terlihat bodoh sekali malam ini.

Lucky menepuk pundak Karl pelan. "Semuanya berjalan lancar?" Lucky tersenyum, menggerakkan alisnya---naik dan turun.

Karl mendesah panjang seraya meregangkan otot tangannya---merentangkannya ke atas. "Semuanya lancar---ya, ku harap selalu seperti itu."

Orang-orang tak menghiraukan obrolan Karl dan Lucky, kecuali aku. Apa Karl membicarakan rencana pernikahannya? Astaga, kenapa indera pendengaranku kian tajam ketika mendengar kabar yang berkaitan dengan pernikahan Karl?

"Ya, tentu saja, semuanya akan berjalan lancar," Lucky menarik serbetnya dan mengusapkannya ke sekitar mulut. "Kau tahu, aku dan teman-teman sudah mempersiapkan hadiah untuk kalian. Tunggu saja!"

Karl mengangguk singkat. "Entahlah, Luck. Aku tak mengharapkan apa pun. Datang saja, berpesta bersama. Aku tak pernah mengharapkan itu."

"Ah, bodoh. Jangan berbicara seperti itu," Lucky meninju lengan Karl pelan seraya tertawa lepas. "Aku mendo'akan yang terbaik untukmu. Jangan terlalu keras memikirkannya."

"Terimakasih, Buddy." Ucap Karl seraya tersenyum manis.

Ah, baguslah. Semuanya lancar, mereka bilang. Rasanya susah sekali untuk kembali mendongakkan kepala dan menatap Karl yang duduk di seberangku. Aku merasa terlalu hina.

.
.
.

Satu minggu selanjutnya...

"Irina?"

"Hey, Georgia---selamat pagi!"

Irina mengenakkan celemek yang biasa ku pakai ketika aku dan Anna bertarung di medan perang. Sedikit rasa marah dan kesal bercampur di dalam hatiku. Jika Irina berada di sini, itu berarti wanita jangkung ini bermalam di sini---mungkin di kamar Karl.

"Maaf, aku terlambat," aku berjalan ke arahnya. Di mana ia sedang sibuk mengaduk sup buatannya. "Irina, aku bisa melanjutkannya untukmu."

"Tak, apa. Jangan repot-repot membuatkanku sarapan, Georgia. Kau tahu, semua orang sudah mengisi perut mereka---apa kau sendiri sudah?"

"Aku, belum," kataku, "tapi aku bisa mengisinya nanti."

"Ah, baiklah," Irina bergerak, mematikan api dan melepaskan celemeknya. "Oh ya, Karl membawa Kurt untuk jalan pagi. Anna dan Steve bersantai di dekat kolam."

"Oh ya... aku bisa mendengar mereka."

Irina menuangkan supnya ke dalam sebuah mangkuk dengan hati-hati. "Baiklah, aku akan memulai sarapanku. Kau boleh bergabung dengan Anna atau yang lainnya---dari pada kau berdiri mematung di sana, ya kan?"

Aku tersenyum tipis, tak merasa ingin tertawa, terkekeh atau bahkan merasa bahagia menanggapi ucapannya. Aku segera berjalan menuju ruang keluarga, aku menjulurkan kepalaku---mencari Anna dan Steve melalui jendela. Bisa ku lihat, Karl dan Kurt sudah kembali---keringat bercucuran di dahi Karl. Ingin sekali aku menghapusnya.

Ah, sial---maaf, kembali ke kesepakatannya!

.
.
.

Karl menuruni tangga dengan langkah yang cepat. Dapat ku dengar, sayup suara Irina dari dekat garasi---memanggil-manggil Karl tak sabaran. Penuh kecemasan. Penantian. Sementara aku berdiri di dekat wastafel, meremas tubuh spons, menciumi bau amis dari piring-piring kotor. Hanya bisa mengernyitkan dahi dan mendengus ketika bau amis itu menusuk hidungku dengan aromanya yang tajam. Karl sampai di anak tangga terakhir, lalu berbelok menuju ruang keluarga. Pintu pun berdecit, menandakan bahwa ia sudah hampir pergi.

Aku menghentikkan gerakanku---menyimpan spons dan melepaskan sarung tangan yang ku pakai ketika aku selesai dengan pekerjaan mencuci ini. Aku menurunkan tubuhku perlahan---mengambil napas panjang yang terputus-putus dan meniupkannya perlahan. Airmataku menetes---aku tak sengaja. Pikiran menghubungkanku dengan kenangan yang ku lalui bersama Karl. Sebelum satu minggu ini, Karl masih memberikan budi baiknya untukku. Begitu pun aku dengan segala kejaimanku.

Namun sejak makan malam bersama itu berakhir, semuanya benar-benar berbalik. Kesepakatan sungguh kami jalankan dengan serius. Tak ada obrolan di meja makan---bahkan Anna sampai bertanya mengenai keadaan kami berdua, tak ada obrolan lebih jauh selain pekerjaan di studio, yang mana membuatku ingin berhenti saja dari pekerjaan asisten itu. Juga tak ada basa-basi mengenai cuaca yang bagus, makanan yang enak, awan yang bagus, sore yang indah atau apapun yang memang biasa kami ucapkan untuk memulai obrolan. Karena mereka tak lagi diucapkan, secara otomatis, obrolan pun tak terucap. Hanya tertimbun dan membengkak menyedihkan di bawah tenggorokan.

Aku mengangkat tanganku yang masih terasa dingin dan lembab. Ku hapus beberapa butir bulir bening yang menetes dan berakhir di lantai yang dingin, dengan memalukan. Tak tahu diri. Tak tahu malu. Airmata yang plin-plan.

"G, kau sedang apa?" tanya Steve, "kau baik-baik saja?"

Aku lekas berdiri seraya terkekeh pelan. "Ya, Steve---hanya beristirahat sejenak."

"Ah, ku kira ada yang salah," sambung Steve. Tak lama, Anna menyusul Steve ke dapur. "Oh ya, Irina meminta kita untuk merapikan kamar Karl, Anna."

"Oh, kau sangat baik jika kau ingin melakukannya untukku, Steve!"

"Aku berpikir yang sama sepertimu---tapi apa kau tahu kalau kau terlihat sangat keren ketika kau melipat selimut, merapikan seprai-"

"Ah, kenapa aku menjadi kesal mendengar pujianmu, ya?" Anna tertawa pelan.

"Biar aku saja, Steve, Anna." Ucapku menawarkan kebaikan pada mereka.

"Kau yakin?" tanya Anna, "maksudku, kau bisa istirahat terlebih dahulu, meluruskan kaki-kakimu dan... kau---kau belum mengisi perutmu?"

Aku menggeleng pelan. "Tak apa, aku sudah menggerus dua pie tadi." Aku berjalan seiring melepaskan celemek dan menggantungkannya. "Aku akan mencari Kurt dan segera naik ke kamar Karl."

"Terimakasih, G!" seru Steve ketika aku sudah berjalan cukup jauh dari mereka. Aku menyerukan ---tak masalah-- lalu segera mencari Kurt yang ku dengar sedang bermain bersama Andreas di dekat garasi.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang